Badan Meteorologi Belanda (KNMI: Koninklijk Nederlands Meteorologisch Instituut) mengumumkan, pada Kamis siang, 25 Juli 2019, pukul 14.53 waktu setempat, suhu panas sempat mencapai 40,7 derajat Celsius di wilayah GilzeRijen yang terletak sekitar 100 km ke arah tenggara dari Den Haag.
Gelombang panas yang menembus lebih dari 40 derajat Celcius itu akhirnya dicatat sebagai rekor terbaru sejak Belanda mulai mencatat suhu secara rutin, sekitar 75 tahun lalu (Oktober 1944).
Sementara itu, pada 25 Juli 2019 di wilayah Den Haag, Amsterdam, Rotterdam, dan hampir semua wilayah tengah sampai selatan Belanda, berdasarkan aplikasi weather di handphone menunjukan suhu panas rata-rata mencapai 37 derajat. Gerah.
Pada Kamis malam Jumat (25-26 Juli 2019), masih menurut KNMI, hampir semua wilayah di Belanda akan mengalami fenomena alam yang disebut Tropic Night (Malam Tropis), yakni ketika suhu di sepanjang malam berada di atas 20 derajat celcius
Bagi orang yang pernah hidup di wilayah tropis, seperti Indonesia yang tidak punya musim dingin, atau pernah hidup di wilayah padang pasir di Timur Tengah, suhu 40 derajat mungkin relatif masih bisa diadaptasi. Nggak kaget paling tidak. Tapi bagi warga di negara-negara non-tropis, yang punya musim dingin seperti Eropa, tentu suhu panas yang 40 derajat adalah persoalan serius.
Dan bagi warga Belanda, suhu 40 derajat Celcius tampaknya lebih serius. Karena konstruksi rumah tinggal dan gedung-gedung perkantoran di Belanda umumnya dibangun dan didesain tanpa dilengkapi air-conditioner (AC). Jarang sekali terlihat ada rumah tinggal dilengkapi AC.Â
Untungnya, di seluruh wilayah Belanda pada periode Juni hingga Agustus, lingkungan sangat hijau. Pepohonan dan bunga berdaun lebat. Jadi sebagian suhu panas itu relatif terserap oleh dedaunan. Namun dengan suhu 40 derajat Celsius, di dalam rumah apalagi di luar rumah, tetap saja amat membuat gerah.
Tak banyak alternatif yang bisa dilakukan untuk menyiasatinya. Di rumah kegerahan, di tempat kerja kepanasan, di pusat-pusat kota banyak orang berpakaian sekadarnya dan tentu sebagian orang memilih kawasan pantai untuk menyiasati suhu 40 derajat itu. Padahal di musim panas, kawasan pantai justru semakin panas.
Secara ilmiah, di wilayah Eropa ini ada fenomena alam yang disebut "gelombang panas dua-mingguan". Sebuah studi menyebutkan, ketika gelombang panas dua-mingguan melanda Eropa pada tahun 2003, ribuan orang meninggal secara prematur (died prematurely).Â
Ketika itu, fenomena gelombang panas dua-mingguan tersebut masih diyakini sebagai siklus alam yang terjadi satu kali dalam setiap seribu tahun (satu milenium).
Lalu pada tahun 2015, sebuah studi baru yang dipimpin oleh Nikolaos Christidis dari Hadley Centre (lembaga riset cuaca yang berbasis di Inggris) menyebutkan bahwa periode siklus fenomena gelombang panas dua-mingguan akan semakin pendek dan terjadi satu kali setiap 100 tahun (satu abad), jadi sebenarnya diprediksi baru akan terjadi pada sekitar tahun 2040.
Karena itu, jika gelombang panas 40 derajat Celsius yang melanda empat negara Eropa (Belanda, Perancis, Jerman dan Belgia) di bulan Juli 2019 ini diposisikan sebagai bagian dari fenomena gelombang panas dua-mingguan, berarti fenomena itu terjadi lebih dini sekitar 20 tahunan dari perkiraan awalnya (2040).
Di tengah suasana gerah saat menuliskan artikel ini, saya berdoa semoga gelombang panas dua-mingguan yang terjadi di bulan Juli 2019 ini, tak mengakibatkan lagi ribuan orang menemui ajal secara prematur dalam beberapa bulan atau tahun ke depan.
Syarifuddin Abdullah | Den Haag, 25 Juli 2019/ 22 Dzul-qa'dah 1440H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H