[Vialen]
Syahdan, dengan alasan ada janjian dengan orang lain, tiba-tiba Rafi dengan santun pamit. Namun sebelum pergi, Rafi memperkenalkan ke saya seorang temannya, untuk menemani saya ngobrol.
"Kalau mau tahu banyak tentang jeroan dan dinamika kehidupan pekerja migran asal Indonesia di Belanda, teman saya ini pakarnya, Pak", kata Rafi, lalu sambil tersenyum menambahkan, "Bahkan kalau mau tahu lika-liku lorong-lorong sempit di Amsterdam ini, beliau ini juga pakarnya."
Sambil senyum, saya menjabat tangan teman Rafi seraya memperkenalkan diri, dan ia pun menyambut ramah: "Panggil saja saya dengan nama Vialen, Pak," katanya.
Oke. Vialen. Biar saya tidak menyita waktu Anda secara percuma, saya mohon Anda berkenan menemani saya ngobrol dan saya akan membayar Anda sesuai dengan durasi waktu yang Anda habiskan bersama saya."
"Boleh, Pak. 10 Euro per jam, ya!!!" jawabnya tanpa basa-basi.
"Deal" timpal saya.
Sore itu, saya dan Vialen sepakat melanjutkan obrolan sembari berjalan santai menyusuri jalan-jalan sempit di bilangan Centrum (pusat kota) Amsterdam.
"Saya sudah tujuh tahun di Belanda. Belum pernah pulang ke Indonesia. Paspor saya sudah mati. Untuk ukuran pekerja migran, saya relatif mapan. Penghasilan saya, boleh jadi, lebih tinggi daripada gaji bulanan Bapak," kata Vialen sambil melirik ke saya, sepertinya menanti reaksi saya.
Saya meresponnya dengan dingin, sambil berkomentar pendek: "Boleh jadi."
"Kira-kira, Bapak bisa mengira-ngira apa pekerjaan saya?" Tanya Vialen tiba-tiba.