TKP: sebuah hotel bintang lima di Surabaya, Jawa Timur.
Waktu: Sabtu, 05 Januari 2019, pukul 12.30 WIB.
Tersangka: dua artis berinisial Av (seorang model majalah dewasa) dan VA (bintang FTV). Keduanya ditangkap di dua kamar yang berbeda. Selain mengamankan 4 perempuan, polisi juga mengamankan seorang mucikari.
Catatan:
Pertama, penangkapan para terduga pelacuran online itu sempat heboh lebih dari 24 jam. Setelah itu reda. Diselingi peredaran datar tarif artis. Lalu pada Ahad sore (6 Januari 2019), kedua tersangka dibebaskan. Dan seperti kasus serupa lainnya, cerita kasusnya mungkin takkan pernah utuh. Publik dibiarkan berimajinasi dan lalu menyimpulkan sendiri-sendiri.
Kedua, Hampir semua media memberitakan bahwa tarif VA dipatok Rp 80 juta sekali kencan. Sedangkan untuk Av tarifnya Rp 25 juta. Namun tidak ada keterangan jelas siapa sumber tentang tarif ini. Sepertinya diperoleh dari data transaksi rekening. Jika tarif ini sungguh benar, bisa dibayangkan berapa besar nilai peredaran duit dalam bisnis esek-esek ini. Dan bisa dibayangkan, nilai 25 juta atau 80 juta itu mungkin hanya harga untuk sebuah "sensasi".
Kasus ini, dan serangkaian kasus-kasus serupa lainnya, bisa menjadi inspirasi baru bagi Moammar Emka untuk menulis lanjutan "Jakarta Undercover" (2003), dengan judul yang baru: "Jakarta-Surabaya Undercover". Hehehehe.
Ketiga, Konon juga, jaringan pelaku ini kerap bolak-balik Jakarta-Surabaya. Penangkapan berawal dari penyelidikan Polda Jatim terhadap akun gosip. Di kalangan sosialita kota-kota besar, sudah lama beredar bahwa akun "Lambe Turah" diposisikan sebagai akun gosip. (catatan: kalau belum tahu artinya, lambe turah antara lain bermakna kepo, mulut ember, bibir sisa).
Keempat, yang menarik, begitu gencarnya pemberitaan tentang VA dan Av, namun luput dari sorotan siapa konsumen penggunanya. Selentingan beredar kabar: salah satunya adalah seorang pengusaha. Tapi media seolah enggan, nggak tahu atau bahkan nggak berani mempublikasikan identintas pengusaha itu. Sampai artikel ini diolah dan diupload, tidak ada keterangan tentang pengusaha Surabaya yang memesan. Digdaya. Â Kita menjadi ingat lagu Kupu-Kupu Malam Titik Puspa: Dosakah yang dia kerjakan # Sucikah mereka yang datang. Bahkan media juga tampak tak cukup berani untuk menyebutkan secara eksplisit nama hotel bintang lima yang menjadi TKP-nya.
Kelima, setelah berlalu kurang lebih 24 jam, lagi-lagi kasusnya seolah dikondisikan untuk segera dilupakan. Pada Ahad, 06 Januari 2019, kedua saksi korban VA dan Av dibebaskan. Jubir VA mengatakan tidak ada bukti tindakan prostitusi online. Va malah menangis sesungguhkan di depan kamera, menyesali dan meminta maaf kepada masyarakat. Yang unik, Va malah meminta maaf kepada Polisi. Aneh.
Keenam, seringkali pelacuran lebih diposisikan sebagai transaksi bisnis, yang terkait langsung dengan soal pajak. Makanya, lokalisasi dilegalkan dan dibiarkan beroperasi. Sementara prostitusi online seakan dianggap ilegal, antara lain karena tidak membayar pajak. Singkat kata, kasus sosial dan asusila yang lebih disikapi dengan logika ekonomi.Â
Ketujuh, ini mungkin pertanyaan dungu: apakah saya-anda-dia merasakan perbedaan makna antara kata pelacuran, lokalisasi, prostitusi reguler dan prostitusi online? Tapi bagi jaringan dan pelakunya, mungkin hanya akan berkomentar singkat begini: this is a lifestyle.
Syarifuddin Abdullah | 06 Januari 2019/ 29 Rabiul-tsani 1440H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H