Hanya diperlukan dua alasan utama kenapa tiap wanita harus diposisikan dan diperlakukan secara terhormat.
Pertama, tiap wanita siapapun dia (nenek, ibu, kakak-adik, cucu, bibi, ipar dan seterusnya) adalah sosok utuh dalam posisinya sebagai makhluk manusia. Prinsip ini saja sudah lebih dari cukup untuk memperlakukan wanita dalam posisi terhormat. Tiap manusia, lelaki ataupun wanita, sudah terhormat sebelum dihormati. Karena, kecuali perbedaan gender (dan turunannya), sesungguhnya tak ada satu pun alasan yang membedakan pria dan wanita sebagai makhluk yang disebut insan.
Kedua, sudah menjadi sunnatullah bahwa seluruh makhluk pada dasarnya diciptakan berpasang-pasangan. Pesan teologisnya bahwa satu-satunya zat menyandang sifat ketunggalan (witir) yang utuh hanya Sang Pencipta: Tuhan. Artinya menghargai wanita sebagai pasangan pria sesungguhnya sarat dengan muatan teologis. Konsekuensinya, tidak sempurna kelaki-lakian seorang pria yang tidak menghormati wanita.
Dan pesan praktis dari konsep bahwa semua makhluk diciptakan berpasangan, adalah keseimbangan. Setiap perlakuan yang mencederai keseimbangan alami (baca: sunnatullah) itu, pada akhirnya akan membuat seluruh lini kehidupan menjadi oleng.
Karena itu, saya termasuk orang yang tidak mempersoalkan argumen -- yang acap dipahami secara tidak proporsional: wanita adalah pasangan seksual (biasanya dirumuskan dalam kalimat lebih vulgar: "pemuas nafsu pria"). Dan sesungguhnya ini bukan frasa yang merendahkan. Sebab pada saat yang sama, pria juga dapat disebut "pemuas nafsu perempuran". Pernyataan di paragraf ini jangan dipahami dengan imajinasi jorok, tapi dalam konteks bagian dari prinsip keseimbangan alami.
Memposisikan wanita sebagai mitra untuk mengemban misi keseimbangan dalam melakoni kehidupan, merupakan indikator utama tentang keharmonisan dan juga ketaatan pada kodrat alam (sunnatullah). Dan prinsip keseimbangan di sini bukan hanya dalam segi fisik (gender/seksual atau jenis kelamin), tetapi yang lebih utama adalah keseimbangan spriritual. Pria yang tidak menghargai wanita, akan mengalami ketidakseimbnagan spiritual. Oleng.
Karena itu, saya lebih memilih tanggal 22 Desember dirayakan sebagai "Hari Perempuran" atau "Hari Wanita" tanpa kecuali. Karena semua wanita pada dasarnya adalah ibu atau berpotensi menjadi ibu untuk anak-anaknya.
 yarifuddin Abdullah | 22 Desember 2018/ 14 Rabiul-tsani 1440H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H