Wa fadhluhu wa nisbatun wal-wadhi'u# wal-ismu al-istimdadu, hukmu-ssyari'i.
Masailu walba'dhu bil-ba'dhi iktafa# wa man dara-l-jami'a haza-ssyarafa).
"Bahwa untuk menguasai satu disiplin ilmu harus ditelaah dalam 10 syarat prinsipil: (1) defenisi (terminologi dan etimologinya), (2) tema dasar kajiannya; (3) manfaatnya, (4) keutamaannya; (5) korelasinya dengan disiplin ilmu-ilmu lainnya; (6) perumusnya atau pencetusnya; (7) nama ilmunya; (8) sumbernya (nash atau akal atau kombinasi keduanya); (9) hukum mempelajarinya (wajib, haram, sunnah, makruh, mubah); (10) persoalan-persoalan yang dibahasnya, yang saling melengkapi dan tekait. Siapapun yang menguasai ke-10 prinsip itu akan meraih kemuliaan".
Artinya, untuk menjadi ulama dalam satu bidang ilmu agama saja, tidaklah mudah dan pasti bukan proses sehari-dua-malam, dengan mantra sim salabim.
Kesepuluh, bahwa kealiman atau keulamaan tidak berkorelasi positif dengan model pakaian (serban, gamis, songkok, baju koko, sarung dan segala turunannya). Sebab pakaian lebih sebagai tradisi saja. Dan tiap tradisi adalah hasil atau muncul dari konsensus komunitas.
Namun, tidak salah juga memang bila ada yang meyakini bahwa model pakaian sedikit-banyak akan menambah aura tertentu bagi seorang ulama (Ilustrasi: ada khatib Jumat bertopi koboi, berbaju singlet dan bercelana training. Secara hukum sebenarnya nggak ada persoalan. Tapi jemaah Jumat bisa dipastikan tidak akan menerimanya).
Sebagai penutup, saya ingin menegaskan, menjadi ulama itu, selain sulit dan secara sosial bisa saja menjadi faktor yang memuliakan seseorang, namun juga dapat menjadi beban moril tak tertanggunkan. Makanya heran juga bila ada orang, siapapun dia, yang terkesan seolah bangga mengemis disebut ulama.
Syarifuddin Abdullah | 23 September 2018/ 13 Muharram 1440H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H