Ketika terjadi krisis moneter tahun 1997-1998, sebagai orang yang sangat awam di bidang ekonomi moneter, saya berupaya keras memahami dinamika yang melatarbelakangi anjloknya Rupiah ketika itu dari kisaran Rp2.500 yang meluncur sampai Rp16.000 bahkan beberapa jam sempat menyentuh angka Rp17.000 per 1 USD.
Selama sekitar enam bulanan, saya mencermati dan membaca ratusan literatur dasar ekonomi moneter dan analisa para pakar. Namun saya tidak pernah memahaminya secara utuh. Meski akhirnya saya tiba pada beberapa kesimpulan umum sebagai berikut:
Pertama, hampir semua alasan yang dikemukakan oleh para pakar Indonesia relatif teori standar, bahkan terkesan text book. Solusi yang ditawarkan juga sesuai dengan tingkat kepakaran dan pengalaman para pakar itu. Tidak heran, hampir semua alasan yang pernah dikemukakan saat Krismon 1998, kembali terdengar hari-hari ini ketika Rupiah menyentuh kurs psikologis: Rp15.000 per 1 USD.
Kedua, istilah fundamental ekonomi adalah term yang lentur. Identifikasi dan kesimpulannya bisa berbeda-beda bahkan kontradiktif antara satu pakar dengan pakar lainnya. Yang satu bilang kuat, lainnya mengatakan lemah, masing-masing dengan argumen yang relatif rasional dan kuat.
Ketiga, ketika itu, tidak satupun tawaran solusi yang benar-benar ampuh dalam melawan atau menahan anjloknya Rupiah. Kekuatan pasar (ketika itu disebut para spekulan) tampak begitu digdaya dalam menggerogoti nilai Rupiah. Dan resultantenya, kita semua tahu: rezim jatuh, banyak orang menderita buntung, dan banyak yang juga sangat diuntungkan.
Keempat, pasar valuta asing (Valas) dalam pengertian moneternya kadang atau boleh digambarkan sebagai sebuah entitas yang nyata tapi maya, atau sebaliknya, maya tetapi nyata. Dan kesimpulan keempat inilah yang akan menjadi fokus artikel ini.
Disebut begitu (nyata tapi maya, atau maya tetapi nyata), karena mekanisme kerjanya dan hasil kerjanya (baca: akibatnya) dapat diketahui melalui transaksi dan indikator indeks di pasar bursa dan pasar Valas, namun sulit mengidentifikasi secara pasti siapa individu atau kelompok atau perusahaan investasi mana yang menggerakkan transaksi-transaksi tersebut.
Ketika bank sentral (di Indonesia disebut Bank Indonesia) mengumumkan bahwa mata uang Rupiah tertekan (secara halus disebut terkoreksi) dalam berhadapan dengan Dolar Amerika (USD), gambaran simpelnya adalah adanya gerombolan pembeli (individu atau perusahaan investasi) yang membeli USD dengan mata uang Rupiah di pasar (kadang disebut melepas Rupiahnya), yang mengakibatkan Rupiah membanjiri pasar, dan pada saat yang sama USD berkurang, dan akibatnya, nilai Rupiah menurun dan sebaliknya USD menaik. Di sini hukum supply and demand berlaku.
Untuk menahan laju turun Rupiah, Bank Sentral akan menggelontorkan USD ke pasar, dengan cara membeli kembali Rupiah yang membanjiri pasar, dengan tujuan menahan laju turun Rupiah, yang kalau bisa, menderek naik nilai Rupiah.
Aksi Bank Sentral yang membeli Rupiah dengan USD inilah, yang biasa disebut intervensi. Dan semua bank sentral di setiap negara pasti pernah melakukannya.
Tentu saja, dalam proses transaksi saling serang ini (melalui aksi jual-beli), mata uang yang terlibat atau dilibatkan bukan hanya Rupiah vs USD, tetapi juga mata uang-mata uang utama dunia (Euro, Yen Jepang, Pound Sterling Inggris).