Wacana emak-emak, dengan segala bumbu-bumbunya, tiba-tiba saja menjadi trending topic di berbagai forum dan dialog nasional. Dan semua orang tampak fasih membicarakannya, ada yang cenderung pura-pura memahami arah dan substansinya. Dan  banyak juga yang gagap menjawab ketika didadak dengan pertanyaan: kata "emak-emak" itu, sanjungan atau ledekan?
Keriuhan wacana emak-emak kali ini mungkin yang paling intens selama periode 73 tahun kemerdekaan RI. Dan pasti jauh lebih riuh dibanding ketika kita merayakan Hari Kartini setiap tahunnya.
Dan ternyata, bahasa Melayu Indonesia memiliki relatif banyak khazanah kata sinonim untuk kata emak-emak. Dan biasanya, sinonim muncul karena bias kelas sosial.
Dulu, dulu lho, kaum urban di berbagai kota besar terkesan merasa lebih bergengsi memanggil ibunya dengan kata mama atau mami. Setidaknya itulah yang terlihat dalam film-film nasional produksi 1970-an bahkan sampai akhir 1980-an.
Ketika itu, kata bunda terpinggirkan, mungkin karena dianggap jadul atau tradisional atau kampungan. Maka kita mengenal ungkapan: "Bukan salah bunda melahirkan". Tidak dirumuskan misalnya dengan: "Bukan salah emak melahirkan" atau "Bukan salah mami melahirkan".
Zaman berubah dan orang beganti. Sejak awal 1990-an, kata bunda mulai kembali populer di kalangan profesional urban. Takaran gengsi sosial bergeser: bunda lebih berkelas, sekaligus mungkin lebih santun, dibanding kata mama dan mami.
Jauh sebelumnya, di zaman penjajahan, ibu-ibu kaum ningrat lebih terhormat dipanggil nyonya, yang disandingkan dengan maneer (tuan, bapak, suami). Saking hebohnya, bahkan kemudian muncul merk dagang terkenal: nyonya maneer, yang kira-kira bermakna: istrinya tuan besar.
Selain santun, kata ibu atau ibu-ibu lebih terasa formal, mungkin setara dengan lady atau ladies dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Arab formal, ibu-ibu diungkap dengan kata sayyidah atau sayyidat, bukan umm atau ummahat. Dalam pidato-pidato formal kenegaraan akan terdengar begini: assadah wassayyidat (ladies and gentlemen).
Sementara dalam teks-teks keagamaan, ibu lebih sering diungkap dengan mengunakan kata umm atau walidah. Ada Hadis Nabi yang sangat populer, tentang anjuran prioritas perbuatan baik seorang anak kepada kedua orangtuanya: ummuka, ummuka, ummuka, tsumma abuka (ibumu, ibumu, ibumu, kemudian ayahmu).
Juga ungkapan yang mengatakan "Surga berada di telapak kaki ibu" menggunakan kata umm (al-jannatu tahta aqdaamil-ummahat).
Dalam tradisi bertutur dan literasi, pengguna bahasa Melayu biasanya apik dalam meyandingkan pasangan kata yang pas menurut rasa bahasa. Keliru menyandingkannya dapat dianggap kurang beradab:Â
- Katakan bapak-ibu, bukan bapak-emak.
- Bilang ayah-bunda, bukan ayah-mama.
- Katakan papa-mama, bukan papa-bunda.
- Sebut tuan dan puan, bukan bapak dan puan.
- Saya belum tahu kata maskulin yang pas untuk emak.Â
- Dalam obrolan orang Betawi, kita juga mengenal kata nyokap (ibu) yang berpasangan dengan bokap (bapak).
- Sekedar informasi: lidah orang Sulawesi, kata emak-emak lebih lincah diucapkan dengan amma-amma dalam bahasa Bugis-Makassar. Atau kindo-kindo dalam bahasa Mandar.