Saya membayangkan sebuah partai bayangan akan muncul di Pemilu 2019, namanya "Partai Milenial", yang boleh jadi akan menjungkirbalikkan semua warisan dan legasi kita tentang Pemilu di Indonesia.
Alasannya jelas: berdasarkan data BPS (Biro Pusat Statistik), piramida penduduk Indonesia, warga yang berusia 17 sampai 38 tahun diperkirakan mencapai sekitar 35 sampai 40% dari total jumlah penduduk Indonesia di tahun Pemilu 2019.
Dalam deskripsi yang lebih gamblang, seperti dikutip banyak media pada 14 Februari 2018, Bambang Brodjonegoro, Kepala Bappenas mengatakan, "Komposisi penduduk Indonesia usia muda yang berusia 20-34 tahun... (generasi milenial) sebanyak 90 juta jiwa".
Angka 90 juta tersebut adalah perkiraan minimal yang mengacu pada angka Proyeksi Penduduk BPS 2010-2035, yang menyebutkan, jumlah penduduk Indonesia pada 2020 diproyeksikan sekitar 271 juta jiwa. Artinya, angka proyeksi 2020 ini tidak akan berbeda jauh dari jumlah riil penduduk pada 2019. Dan 35 persen terhadap 271 juta jiwa sekitar 95 juta jiwa.
Jika dikaitkan dengan Pemilu 2019, angka 95 juta jiwa itu tentu bukan angka kecil. Bahkan boleh disebut sangat besar. Sebab dalam sejarah 4 kali Pemilu paska Reformasi (1999, 2014, 2009 dan 2014), hanya tiga Parpol yang pernah meraih suara di atas 20 juta suara nasional. Dan suara tertinggi yang pernah dicapai oleh Parpol sebesar 35,6 juta (34 persen), oleh PDIP pada Pemilu 1999 (lihat gambar tabel).
Perkiraan ini, tentu bisa didebat dengan argumen: pilihan Capres-Cawapres belum tentu sama dengan pilihan Parpol. Namun karena sistem pemilihan serentak (Pilpres dan Legislatif) ini baru pertama kali dilakukan pada Pemilu 2019, maka untuk sementara diasumsikan bahwa pilihan Parpol akan cenderung paralel dengan Pilihan Capres-Cawapresnya.
Meskipun di atas kertas "Partai Milenial" cukup potensial dilihat dari potensi suaranya, namun terdapat beberapa catatan menarik terkait generasi milenial di Indonesia:
Pertama, sebagian generasi milenial Indonesia, sudah mengikuti Pemilu pertama paska Reformasi (Pemilu 1999). Anehnya, ribut-ribut soal pengaruh generasi milenial ini baru mulai sayup-sayup terdengar pada Pemilu 2014, dan semakin kencang pada Pilkada serentak, 27 Juni 2018. Dan bisa dipastikan bakal semakin kencang pada Pemilu 2019 nanti.
Dan seperti diketahui, batasan tahun kelahiran generasi milenial sebenarnya tidak saklek. Namun artikel ini lebih mengacu pada dua batasan usia generasi milenial, yaitu  United States Census Bureau, yang menggunakan tahun 1982--2000 sebagian acuan tahun kelahiran generasi milenial. Dan juga Pew Research Center mendefinisikan Milenial sebagai orang yang lahir mulai dari tahun 1981, tanpa penentuan batas akhirnya. Dan saya cenderung memilih defenisi acuan Pew Research Center.
Karena itu, boleh dibilang, sebagian besar aktivis muda Indonesia, yang sudah masuk dan aktif di berbagai Parpol, mulai dari generasi 1998 sampai sekarang, adalah kategori generasi milenial. Selain itu, mayoritas aktivis relawan dua pasangan Capres-Cawapres 2019 juga adalah generasi milenial. Artinya juga, generasi milenial sudah tersebar, dan karena itu, soliditasnya tidak terlalu kental.
Jika dikaitkan secara spesifik dengan Pemilu 2019, jangan-jangan bukan generasi milenial Indonesia secara umum, yang berjumlah sekitar 95 juta jiwa itu. Tapi generasi milenial yang baru pertama kali mengikuti Pemilu pada 2019.
Kedua, dari segi karakteristk, sebenarnya belum ada studi serius yang memastikan bahwa generasi milenial Indonesia menjamin akan menjadi penentu keterpilihan Parpol atau pasangan Capres-Cawapres. Sebab beberapa studi menyebutkan, selain beberapa ciri positif, generasi milenial juga punya karakter negatif: mereka lebih terkesan individual, fokus pada nilai-nilai materialistis, cukup mengabaikan masalah politik, dan kurang peduli untuk membantu sesama.
Beberapa kajian lain menjelaskan, karakteristik generasi milenial cenderung: menginginkan jadwal kerja yang fleksibel, lebih banyak memiliki 'me time' dalam pekerjaan, terbuka pada saran dan kritik, termasuk nasihat karier dari pimpinannya. Psikolog Jean Twenge menjelaskan Millennials sebagai "Generation Me" melalui bukunya "Generation Me : Why Today's Young Americans Are More Confident, Assertive, Entitled - and More Miserable Than Ever Before (2006).
Sebagai sebuah kategorisasi sosial yang mengacu pada periode tahun kelahiran terentu (sejak 1981 dan seterusnya), salah satu ciri generasi milenial adalah akrab dengan komunikasi, media, dan teknologi digital, pro liberalisasi politik dan ekonomi; pikirannya terbuka, pendukung kesetaraan hak; percaya diri yang bagus, mampu mengekspresikan perasaannya, pribadi liberal, optimis, dan menerima ide-ide dan cara-cara hidup.
Ketiga, semua ciri-ciri tersebut sebenarnya lebih mengacu pada generasi milenial di Amerika Utara dan sebagian Eropa Barat. Dan ketika kriteria itu coba dijadikan acuan untuk mendeskripsikan generasi sebayanya di Indonesia misalnya, terbukti bahwa tidak semuanya compatible dengan generasi milenial di Indonesia. Jangan-jangan kita hanya latah menggunakan istilah atau kategorisasi sosial di negara lain, sementara secara mental dan perilaku, generasi milenial Indonesia hanya mengikuti trend kulit-kulitnya saja, dan karena itu, boleh disebut "generasi separuh milenial".
Keempat, berdasarkan pengamatan sekilas, belum tampak ada Parpol di Indonesia yang memiliki agenda komprehensif tentang bagaimana mengelola dan meraih simpati generasi milenial. Mungkin karena wacana milenial ini, sekali lagi, baru muncul sayup-sayup pada Pemilu 2014, dan mulai kencang terdengar pada Pilkada serentak Juni 2018.
Saya pikir, ke depan, masih diperlukan lebih banyak studi tentang pengaruh generasi milenial dalam Pemilu 2019.
Apapun itu, jika seandainya ada yang berminat membentuk partai politik baru, mungkin nama yang paling seksi adalah "Partai Milenial".
Namun dalam Pemilu 2019, ternyata bukan hanya "Partai Milenial" yang menarik. Beberapa minggu terakhir, sejak pendaftaran Capres-Cawapres di KPU, muncul wacana baru yang berpotensi menyaingi "Partai Milenial", yakni "Partai Emak-Emak", yang Insya Allah akan menjadi tema artikel berikutnya.
Syarifuddin Abdullah | 18 Agustus 2018/ 06 Dzul-hijjah 1439H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H