Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merdeka

17 Agustus 2018   23:15 Diperbarui: 17 Agustus 2018   23:50 1112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto diolah dari: DaFont.com

Semua orang (bayi) terlahir merdeka. Komunitas dan tempat lahirnyalah yang kemudian menyematkan atau menyanderanya dengan berbagai macam label, yang mengikis kemerdekaannya, sedikit demi sedikit.

Jika seorang bayi dilahirkan oleh orangtua yang tergolong miskin, maka bayi itu akan otomatis hidup dengan kemiskinan. Dan kemiskinan itu akan menjadi semacam belenggu yang menyita kemerdekaan sang bayi.

Sebaliknya, kalau seorang bayi dilahirkan oleh orangtua kaya, umumnya diasumsikan akan mengalami nasib lebih baik, secara ekonomi. Namun kekayaan yang dimiliki orangtuanya itu, akan membelenggunya, dengan cara yang lain.

Di era ketika perbudakan masih dianggap sebagai sesuatu yang lumrah, seorang cikal bayi dari orangtua budak, akan digelari calon budak bahkan ketika masih berada di dalam rahim. Dan itu berlangsung selama berabad-abad lamanya.

Lalu, ada warna kulit. Meski dimungkinkan, seorang anak berkulit berwarna lahir dari rahim orangtua bule, namun warna kulit akan menyandera setiap bayi yang terlahir. Sebab tidak seorang pun bayi yang memiliki hak memilih warna kulitnya. Yang hitam lahir dari rahim ibu yang berkulit hitam. Bayi sawo matang lahir dari rahim ibu yang berkulit sawo matang. Begitupula bayi bule.

Artinya, kita semua tanpa kecuali, telah terbelenggu oleh seluruh label sosial, ekonomi, dan historis yang telah melekat pada sosok ayah dan ibu yang melahirkannya.

Lokasi kelahiran pun adalah sebuah belenggu abstrak, yang kemudian dimaterialkan melalu surat akta kelahiran.

Berfantasi tentang bumi ketika belum dikenal garis perbatasan antar negara, ketika itu, setiap bayi yang lahir dapat diberikan label sosial sebagai "anak bumi". Namun saat ini, ketika garis demarkasi antar negara ditegakkan, setiap bayi yang lahir akan otomatis terbelenggu oleh asal negara ibu dan/atau ayahnya.

Sepertinya kita memerlukan defenisi atau penjelasan baru tentang arti merdeka, yang semakin didalami akan makin terkuak kesamaran maknanya.

Sebab jika merdeka itu dikaji dalam bingkai realitas kemodernenan yang makin kompleks bahkan semrawut, kita akan tiba pada kesimpulan bahwa merdeka tidak pernah utuh sejak awal. Makin banyak variabel yang membuat merdeka itu semakin rapuh.

Kemerdekaan, jika diidentikan dengan kemandirian, justru akan semakin rapuh dan abstrak. Sulit diidentifikasi secara jelas. Karena pada dasarnya, kerapuhan kemerdekaan justru muncul dari perbedaan. Dan setiap perbedaan akan memicu ketergantungan, dan ketergantungan adalah pengikis kemerdekaan. Makin tinggi ketergantungan itu semakin rapuh pula kemerdekaan.

Di sisi lain, realitas kehidupan mendiktekan perbedaan sebagai sebuah keniscayaan. Dan tiap keniscayaan mestinya tak perlu ditegak-tegakkan dengan cara hitam-putih.

Syarifuddin Abdullah | 17 Agustus 2018/ 05 Dzul-hijjah 1439H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun