Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pemilih Milenial Takkan Mempan oleh Rayuan PHP

3 Juli 2018   16:00 Diperbarui: 3 Juli 2018   18:26 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: zoomtecnologico.com

Tempo menggambarkannya dengan kalimat "Membalik Ramalan Survei" (Majalah Tempo, edisi 08 Juli 2018). Saya membahasakannya menjungkir-balikan hasil survei. Itulah posisi segmen pemilih milenial yang telah memelesetkan dan menjungkirbalikkan banyak hasil survei sebelum pencoblosan Pilkada serentak yang digelar di 171 Pilkada (17 provinsi, 115 kabupaten, 39 kotamadya) pada Juni 2018.

Oleh karena terjadi di beberapa Pilkada, faktor kebetulannya nyaris nihil. Artinya, hasilnya tak bisa lagi dianggap enteng. Ini buktinya:

Di Pilgub Jawa Tengah, pasangan Sudirman Said -- Ida Fauziyah di survei hanya mendapatkan sekitar 20 persen. Faktanya, meraih sekitar 40 persen, walaupun kalah.

Di Pilgub Jawa Barat, pasangan Sudrajat -- Ahmad Syaikhu awalnya diprediksi mendapatkan suara tak lebih 11 persen. Faktanya meraih suara sampai lebih dari tiga kali lipat, meskipun tetap kalah.

Di Lampung, pasangan Arinal Djunaidi -- Chusnunia, menurut survei Charta Politica (6-11Maret 2018) diprediksi hanya meraih 13,1 persen. Nyatanya meraih 37,83 persen dan menang.

Dan banyak lagi contoh lainnya.

Banyak pakar yang coba menjelaskan alasan perbedaan hasil survei dan quick count/ real count, yang merupakan salah satu kejutan Pilkada serentak 2018. Dan tentu saja, sebagian penjelasan itu lebih bersifat alasan justifikasi, yang nyaris tak berguna.

Saya membaca tread artikel seorang pakar dan profesor survei Khairil Anwar Notodiputro di Twitter yang mengulas kejutan hasil Pilkada serentak 2018, karena survei pra-Pilkada berbeda jauh dengan quick count dan/atau real count. Penjelasannya cukup logis. Kesimpulannya, ternyata memang suveri sebelum pencoblosan sangat besar peluang kelirunya. Artikel itu menohok semua lembaga survei, dan secara santun mengimbau agar lembaga survei tidak sesumbar tentang akurasi surveinya.

Sebagai langkah antisipasi untuk Pilpres 2019, ada dua penjelasan yang agaknya paling logis terkait adanya perbedaan sangat besar antara survei sebelum Pilkada Serentak dan hasil Quick Count yaitu:

Pertama, faktor kelompok undecided voter (mereka yang belum menentukan pilihan ketika survei dilaksanakan atau bahkan mereka tidak peduli dengan Pemilu). Penjelasan dan gambaran teknis cukup banyak, meski tidak pernah cukup menjelaskan. Yang pasti, kelompok undecided voter sering dijadikan kambing hitam bila survei meleset jauh dari hasil quick count dan real count.

Kedua, banyaknya pemilih pemula (yang baru pertama kali memilih), yang diperkirakan rata-rata sekitar 20 persen dari total pemilih di semua wilayah pemilihan (provinsi, kabupaten/kota).

Mereka ini sering disebut generasi milenial. Usianya sekitar 19 sampai 25 tahun. Sangat peduli dan intens dengan dunia Medsos, dan karena itu, cukup well-informed tapi juga rentan kemakan hoax; dulu sering dipersepsikan kurang peduli politik.

Tapi, pada Pillkada serentak 2018, pemilih pemula ini tampaknya mulai melibatkan diri secara aktif. Artinya mereka ikut memilih. Konon merekalah yang akhirnya menjungkirbalikkan hasil survei-survei pra pencoblosan. Karena jumlahnya relatif besar, di beberapa daerah, perbedaan hasil survei sebelum pencoblosan dan quick count mencapai lebih dari tiga kali lipat. Dan fakta itu menunjukkan bahwa survei sangat tidak akurat.

Pemilih milenial ini boleh jadi akan kembali menjungkirbalikkan hasil-hasil survei popularitas dan elektabilitas Paslon untuk momentum Pilpres 2019.

Karena komunitasnya relatif eksklusif, mereka juga rentan bermental gerombolan. Artinya, jika satu segmen pemilih milenial menentukan pilihannya pada si Y, maka segmen-segmen milenial lainnya akan ikut memilih si Y, bukan si X.

Karena itu, saatnya mulai meyakinkan para pemilih milenial melalui program nyata yang sesuai dengan selera dan imajinasi atau bahkan suasana batin generasi milenial. Bukan sekedar merayu dan menggobal mereka, apalagi membohongi mereka. Pemilih milenial takkan mempan oleh rayuan PHP (Pemberi Harapan Palsu). Kampanye politik gaya lama mungkin nggak nendang lagi bagi generasi milenial. Diperlukan kreativitas yang menyelami suasana batin milenial.

Syarifuddin Abdullah | 03 Juli 2018 /  19 Syawwal 1439H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun