Tempo menggambarkannya dengan kalimat "Membalik Ramalan Survei" (Majalah Tempo, edisi 08 Juli 2018). Saya membahasakannya menjungkir-balikan hasil survei. Itulah posisi segmen pemilih milenial yang telah memelesetkan dan menjungkirbalikkan banyak hasil survei sebelum pencoblosan Pilkada serentak yang digelar di 171 Pilkada (17 provinsi, 115 kabupaten, 39 kotamadya) pada Juni 2018.
Oleh karena terjadi di beberapa Pilkada, faktor kebetulannya nyaris nihil. Artinya, hasilnya tak bisa lagi dianggap enteng. Ini buktinya:
Di Pilgub Jawa Tengah, pasangan Sudirman Said -- Ida Fauziyah di survei hanya mendapatkan sekitar 20 persen. Faktanya, meraih sekitar 40 persen, walaupun kalah.
Di Pilgub Jawa Barat, pasangan Sudrajat -- Ahmad Syaikhu awalnya diprediksi mendapatkan suara tak lebih 11 persen. Faktanya meraih suara sampai lebih dari tiga kali lipat, meskipun tetap kalah.
Di Lampung, pasangan Arinal Djunaidi -- Chusnunia, menurut survei Charta Politica (6-11Maret 2018) diprediksi hanya meraih 13,1 persen. Nyatanya meraih 37,83 persen dan menang.
Dan banyak lagi contoh lainnya.
Banyak pakar yang coba menjelaskan alasan perbedaan hasil survei dan quick count/ real count, yang merupakan salah satu kejutan Pilkada serentak 2018. Dan tentu saja, sebagian penjelasan itu lebih bersifat alasan justifikasi, yang nyaris tak berguna.
Saya membaca tread artikel seorang pakar dan profesor survei Khairil Anwar Notodiputro di Twitter yang mengulas kejutan hasil Pilkada serentak 2018, karena survei pra-Pilkada berbeda jauh dengan quick count dan/atau real count. Penjelasannya cukup logis. Kesimpulannya, ternyata memang suveri sebelum pencoblosan sangat besar peluang kelirunya. Artikel itu menohok semua lembaga survei, dan secara santun mengimbau agar lembaga survei tidak sesumbar tentang akurasi surveinya.
Sebagai langkah antisipasi untuk Pilpres 2019, ada dua penjelasan yang agaknya paling logis terkait adanya perbedaan sangat besar antara survei sebelum Pilkada Serentak dan hasil Quick Count yaitu:
Pertama, faktor kelompok undecided voter (mereka yang belum menentukan pilihan ketika survei dilaksanakan atau bahkan mereka tidak peduli dengan Pemilu). Penjelasan dan gambaran teknis cukup banyak, meski tidak pernah cukup menjelaskan. Yang pasti, kelompok undecided voter sering dijadikan kambing hitam bila survei meleset jauh dari hasil quick count dan real count.
Kedua, banyaknya pemilih pemula (yang baru pertama kali memilih), yang diperkirakan rata-rata sekitar 20 persen dari total pemilih di semua wilayah pemilihan (provinsi, kabupaten/kota).