Rahmatan-lil-alamin (rahmat bagi semesta) adalah prasa populer yang sering meluncur dari mulut para penceramah atau narasumber talk-show ketika menggambarkan salah satu karakter atau prinsip utama Islam sebagai agama yang merangkul atau mengayomi semua pihak dan dalam semua hal. Prasa ini biasanya makin lantang dikumandangkan di berbagai mimbar dan forum tiap kali muncul aksi kekerasan yang bernuansa keagamaan.
Belakangan, mungkin saking seringnya terdengar, banyak juga pejabat negara dan cendekiawan umum yang fasih mengucapkannya. Saya berasumsi positif, semoga mereka mengucapkannya dengan pemahaman yang utuh, bukan sekedar ikut-ikutan.
Tapi apa sih sesungguhnya makna Rahmatan-lil-alamin?
Secara etimologis, kalimat itu terdiri dari tiga bagian: kata rahmat (rahmat atau anugerah atau kasih), hurup li (untuk) dan kata alamin (bentuk plural dari kata alam yang berarti seluruh alam).
Secara terminologi, dalam ilmu kalam (teologi Islam), kata alam () didefenisikan "segala sesuatu selain Allah", yang mencakup seluruh makhluk hidup dan benda (padat dan cair) serta makhluk/ciptaan abstrak.
Karena itu, pengertian dasar prasa rahmatan lil-alamin adalah bahwa Islam merangkul atau mengayomi semesta dan segala isinya, tanpa kecuali. Sampai di sini, tidak ada persoalan. Persoalannya mulai muncul ketika kata kasih/rahmat atau "merangkul dan mengayomi" itu coba diimplementasikan dalam kehidupan praktis.
Untuk mengimplementasikan prinsip rahmatan lil-alamin itu secara benar dan tepat, setidaknya diperlukan pemahaman yang utuh terkait beberapa catatan sebagai berikut:
Pertama, memahami sejelas-jelasnya makna kata rahmat. Dan ini doktrin paling mendasar dalam proses pembelajaran. Bukan sekedar pemahaman etimologis (kajian kebahasaan), tapi juga pemahaman terminologis (defenitif), yang dikombinasikan dengan faktor historis.
Pemahaman bahasa terhadap suatu kata yang bersifat umum, juga tidak selalu gampang. Karena itu, ada beberapa metode, antara lain, memahami sebuah kata dengan cara menyandingkan sebuah kata yang ingin dipahami (dalam hal ini rahmat) dengan kata kontrasnya. Artinya, tidak rahmat adalah semua tindakan yang bersifat kejam, keras, tidak manusiawi, intoleran, memecah dapat dikategorikan.
Namun dalam proses pemahaman dan pemaknaan tentang kejam, keras, tidak manusiawi, intoleran tersebut, harus mengacu pada aturan atau prinsip yang jelas. Jika tidak, tiap orang akan cenderung memahaminya sesuai kehendak, pengalaman dan pengetahuannya. Kalau ini dibiarkan, akan memicu perdebatan yang tak ada ujung pangkalnya.
Nah, di dalam Islam, untuk mecegah terjadinya pemahaman dan implementasi yang ngawur terhadap suatu prinsip yang bersifat umum dan fleksibel, umumnya dibingkai dalam acuan yang jelas, yaitu syariat.
Contoh: Islam mengasihi atau merangkul dan mengayomi semua binatang, tanpa kecuali. Ini prinsip dasarnya. Tapi tidak bisa diartikan misalnya dengan mengatakan bahwa babi itu halal. Karena terkait babi, sudah ada aturan syariatnya (haram).
Contoh lain: jika di suatu kampung tiba-tiba muncul ular piton besar yang memangsa ternak dan orang, maka ular piton itu wajib dibunuh. Jangan dengan argumen rahmatan lil-alamin lantas mengatakan, udah, biarin aja ular piton itu berkeliaran.
Kedua, dalam kajian keIslaman, syariat Islam selalu diposisikan sebagai bagian dari rahmat Allah kepada hambanya. Dan sikap dasar yang mestinya menjadi acuan utama dalam memperlakukan syariat adalah ketaatan, bukan analisa dan interpretasi.
Ketiga, bahwa rahmat Islam (atau Islam sebagai rahmat) tidak bisa diartikan secara mutlak anti kekerasan. Sebab jika rahmat itu diartikan mutlak anti kekerasan, maka konsekuensinya kita akan membatalkan beberapa hukum, yang bagi sebagian orang dianggap kejam dan tidak manusiawi, seperti hukuman qishas (vonis mati bagi pembunuh), atau rajam (bagi pezina yang sudah menikah ) atau potong tangan (bagi pencuri yang memenuhi syarat jumlah curiannya). Tegasnya, jangan dengan argumen rahmatan lil-alamin lantas hukum yang terkesan kejam itu lantas ditiadakan.
Membunuh tanpa alasan syariat jelas diharamkan. Tapi sistem hukum apapun di dunia ini mengakui bahwa dalam pertempuran atau perang, misalnya, membunuh adalah pilihan pertama yang paling rasional. Prinsip yang berlaku: dari pada saya yang mati, lebih baik musuh yang mati. Perbedaan pandangan atau interpretasi muncul ketika membahas kapan suatu keadaan dapat dikategorikan sebagai suasana perang dan kapan tidak.
Keempat, memahami tiap prinsip Islam mestinya tetap mengacu atau dalam bingkai dan paradigma Islam. Memahami sebuah prasa, harus mengacu pada paradigma yang melatari paradigma tersebut. Jika tidak, kecenderungan munculnya interpretasi yang nyeleneh sangat besar.
Misal: jika mengacu pada paradigma HAM murni, konklusinya pasti akan berakhir dengan mengatakan, hukum rajam anti HAM, qishash itu tidak manusiawi.
Keenam, Islam dan hukum-hukumnya bukan untuk dicocok-cocokkan dengan agama apapun atau konsep apapun. Dan memang salah satu perdebatan yang sering memunculkan kontroversi adalah ketika salah satu pihak mencoba atau bahkan terkesan memaksakan upaya mencocok-cocokkan itu.
Ketujuh, tiap pemahaman dasar terkait suatu prinsip Islam, juga tidak boleh dipaksa-paksakan untuk diterima oleh kelompok komunitas selain Islam. Sebab unsur pemaksaan itu sendiri sebenarnya sudah bertentangan dengan prinsip rahmat (merangkul dan mengayomi). Dan poin yang terakhir ini ranahnya adalah dakwah. Dan tiap dakwah adalah proses meyakinkan, bukan proses memaksakan.
Syarifuddin Abdullah | 06 Juni Mei 2018 / 21 Ramadhan 1439H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H