Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Zalim dan Kezaliman (2): Jika Zalim, Kau Akan Dizalimi Juga

25 Mei 2018   22:30 Diperbarui: 25 Mei 2018   22:40 1520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kezaliman acap dikontraskan dengan keadilan. Jika keadilan adalah konsep abstrak, begitupun kezaliman. Dan problem utama yang melekat pada tiap konsep yang abstrak adalah sulit didefenisikan secara defenitif. Artinya tidak ada defenisi yang bisa dijadikan acuan konsensus.

Konon Bahasa Melayu, juga hampir semua bahasa daerah di Indonesia, tidak memiliki kosakata leluhur yang semakna dengan keadilan, dan dengan demikian, juga tak tak punya kosakata padanan yang semakna dengan kezaliman. Barangkali kita memang tidak pernah memiliki konsep yang jelas tentang keadilan dan kezaliman. Kosakata adil dan zalim berasal dari bahasa Arab.

Kezaliman sering juga dijelaskan sebagai "perlakuan tidak semestinya". Namun prasa "tidak semestinya" bersifat sangat subyektif. Tidak ada acuan bakunya. Jika satu kelompok sosial mendapatkan perlakuan privilege (perlakuan khusus atau istimewa), maka semua kelompok sosial lainnya yang tidak mendapatkan privilege itu dapat diposisikan kelompok yang terzalimi.

Dalam ranah politik kekuasaan, kezaliman kadang diuraikan sebagai perilaku atau tindakan atau kebijakan sewenang-wenang, yakni perilaku atau tindakan atau kebijakan yang tidak mempertimbangkan hak (kosakata hak atau haq juga berasal dari Bahasa Arab yang bermakna kebenaran). Artinya kezaliman bisa diartikan kebatilan (kosakata kebatilan pun berasal dari kosakata Bahasa Arab). Dan mereka yang tidak ditimbang haknya itulah yang diposisikan sebagai kelompok atau individu yang terzalimi.

Namun sejarah manusia membuktikan bahwa tak ada keadilan yang sempurna, seperti halnya tidak ada kezaliman yang sempurna. Dinamika atau proses trade-off antara keadilan yang tak sempurna versus kezaliman yang tidak sempurna itulah yang mewarnai hampir semua interaksi antar individu, antar kelompok, antar negara, antar bangsa atau bahkan antar kebudayaan atau antar peradaban.

Dan tiap kezaliman pada akhirnya akan memicu perlawanan, yang kadang santun, sering frontal, atau menggabungkan kesantunan dan frontal. Tak jarang perlawanan itu muncul dalam bentuk reaksi yang cerdas, tapi lebih sering berbentuk dungu, khususnya jika kelompok atau individu yang dizalimi itu menempatkan diri pada posisi nothing to loss.

Dalam agama, kita diajarkan untuk berhati-hati atau mewaspadai atau tidak meremehkan doa laknat orang-orang yang dizalimi. Sebab semakin pasrah orang terzalimi dalam menerima kezaliman yang menimpanya, makin ampuh dan bertuah pula doa laknatnya. Dan efek doa laknat itu bisa muncul atau menjelma dalam berbagai bentuk variannya terhadap pelaku kezaliman.

Pengalaman hidup mengajarkan bahwa tiap kezaliman akan memicu penzaliman yang setimpal, kadang atau sering lebih parah, dalam bentuk yang mungkin tidak berkaitan sama sekali antara kezaliman yang dilakukan dan penzaliman balasannya. Rumusan abstraknya: jika kau zalim, kau akan dizalimi juga.

(BERSAMBUNG)

Syarifuddin Abdullah | 25 Mei 2018 / 09 Ramadhan 1439H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun