Kedelapan, saya membayangkan, sebagian besar ulama yang namanya tercamtum dalam Daftar200 itu mungkin sekali juga tidak merasa nyaman. Jika yang masuk daftar saja dapat diasumsikan nggak nyaman, apalagi nama-nama ulama yang belum masuk daftar.
Kesembilan, di beberapa negara, kebijakan yang sama atau sejenis dengan Daftar200 itu mungkin lumrah saja. Tapi kebijakan seperti ini biasanya di negara-negara yang menganut siatem monarki, itupun pasti dirumuskan secara nasional, berhati-hati, dan hampir pasti tidak mungkin daftarnya hanya berisi 200 nama untuk satu negara.
Kesepuluh, dilihat dari sudut managemen atau pengelolaan pesan-pesan publik, Dafrar200 itu mungkin dapat dianggap sangat rasional, profesional dan memenuhi standar managamen modern. Tapi saya ingin menegaskan, jangan pernah berasumsi bahwa ilmu managemen modern, yang paling shopisticated sekalipun, akan mampu mengelola psikologi ulama. Simpulnya, mengelola psikologi ulama dan kiai perlu kearifan yang bukan rata-rata. Dan Daftar200 itu gagal melakukannya.
Syarifuddin Abdullah | 20 Mei 2018 / 04 Ramadhan 1439H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H