Sebagai orang awam, saya dan mungkin termasuk banyak orang, agak kesulitan memastikan apakah perdebatan itu benar-benar penting.
Ketika terjadi Bom Bali-I (22 Oktober 2002), Indonesia belum memiliki UU khusus terorisme. Pemerintah dan DPR ketika itu merespon dengan mengesahkan "UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme". Dari segi kronologi waktu, UU Nomor 15 tersebut dibuat seperti "berlaku surut".
Bangunan logika yang dipromosikan untuk meloloskan UU Nomor 15 pada tahun 2003 persis sama dengan bangunan logika untuk meloloskan draft Revisinya: agar aparat penegak hukum memiliki ruang gerak dalam melakukan penindakan.
Argumen pemanis
Selain argumen hukum di atas, muncul argumen yang boleh disebut argumen pemanis, misalnya, dalih yang menegaskan bahwa "faktor niat baik' lebih penting daripada rumusan defenisi dalam sebuah produk hukum. Terus terang, argumen ini akan sulit diterima oleh para praktisi hukum.
Di tengah wacana itu, ada tiga poin yang tampaknya luput dari perhatian:
Pertama, seandainya pun nanti revisi UU Nomor 15 disahkan dan diundangkan, posisinya akan tetap sebagai undang-undang, yang tidak mungkin dikategorikan sebagai produk hukum yang sempurna. Dengan kata lain, setiap produk hukum selalu memiliki "cacat bawaan". Ini aksioma hukum positif.
Kedua, sungguh keliru bila diasumsikan bahwa jika revisi tersebut diketuk palu pengesahannya, lantas sim salabim akan menghentikan total aksi teror. Tentu, tidak. Â Revisi itu lebih merupakan "ikhtiar", yang diharapkan dapat meredam atau mengurangi aksi teror.
Namun terakit poin kedua ini, ada sebuah fakta global yang mungkin layak direnungkan: sebelum aksi teror 9/11 tahun 2001 di Amerika, sebagian besar negara di dunia tidak/belum memiliki UU anti teror.
Amerika sendiri, baru mengesahkan Patriot Act pada 26 Oktober 2001, setahun paska teror 9/11. Dan faktanya, selama periode waktu sekitar 17 tahun terakhir (2001 s.d 2018), dunia menyaksikan rangkaian aksi teror yang jauh lebih banyak, justru ketika sebagian besar negara di dunia memiliki undang-undang anti teror.
Saya juga tidak paham apakah fakta ini sebuah paradoks, atau merupakan konsekuensi logis dari diktum klasik tentang spiral kekerasan.