Ketika itu, salah satu modus aksi bom yang paling sering terjadi adalah bom bunuh diri mobil, dengan modus: sebuah mobil berisi bom, umumnya berupa sedan tua, pengendaranya seorang diri, ikut antri di checkpoint yang bertebaran di jalan-jalan Irak. Begitu mobil sedang antri pengecekan di check-poin yang selalu ramai, bom pun meledak. Menghadapi itu, para warga di Irak memiliki cara menghindarinya: jangan mendekati mobil tua, yang dikendarai oleh hanya satu orang.
Saya teringat juga paska Bom mobil, yang pelakunya diidentifikasi bernama Asmar Latinsani di Hotel Marriott Kuningan Jakarta tahun 2004. Setelah itu, berbagai gedung kemudian memasang sistem pengamanan khusus untuk mobil di berbagai gedung pemerintahan dan perkantoran, terutama hotel.
Perlakuan pengamanan khusus terhadap pengendara motor nyaris tak pernah dikelola dengan serius. Meskipun sebenarnya sudah beberapa beberapa kasus serangan teror yang menggunakan motor: bom bunuh diri menggunakan motor di Mapolres Poso pada 3 Juni 2013, dan di Mapolres Banyumas, 11 April 2017.
Ke depan, mengacu pada kasus lima aksi bom di Surabaya dan Sidoarjo, terdapat dua catatan yang mungkin layak dicermati:
Pertama, jika semua pengendara motor "diperlakukan khusus" ketika mendekati gerbang, dengan asumsi tiap pengendara motor berpotensi atau mungkin membawa bom, tentu akan menjadi pekerjaan baru dan bisa memicu sentimen negatif publik.Â
Sebab di Indonesia, jutaan motor malang-melintang di jalan-jalan tiap saat. Dan sejauh pengamatan saya, saat ini, hampir semua gerbang portal di tiap gedung publik atau pemerintahan atau kompleks/compound, belum memiliki mekanisme baku untuk pengecekan motor (roda dua).
Pekerjaan ini akan semakin ribet karena sebagian besar komplek gedung di Indonesia tidak memiliki parkiran di luar gedung. Artinya, kendaraan roda empat dan roda dua harus memasuki gerbang depan melintasi portal, untuk selanjutnya parkir di basement atau di parkiran bertingkat.
Kedua, tentu kita tak berharap. Namun jika jaringan pelaku Surabaya dan Sidoarjo dapat mengeksekusi lima aksi dalam periode waktu sekitar 25 jam, yang sekali lagi mengirim pesan mengamuk, maka amukan serupa bisa saja terjadi di kota-kota lain. Kewaspadaan adalah sebuah keharusan.
Syarifuddin Abdullah | 15 Mei 2018 / 28 Sya'ban 1439H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H