Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Teror Bom Kembar Tiga di Surabaya

14 Mei 2018   16:20 Diperbarui: 14 Mei 2018   16:36 940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu: Ahad pagi, 13 Mei 2018.

TKP dan modus: bom kembar tiga, yang meledak dengan selisih waktu sekitar 10 menirt di tiga titik berikut:

1.Gereja Santa Maria Tak Bercela, Jalan Ngagel Madya, Nomor 1, Surabaya, pukul 07.33 WIB, diduga dilakukan dengan bom bunuh diri menggunakan motor.

2.Gereja Kristen Indonesia (GKI), Jalan Diponegoro, Surabaya, pukul 07.53 WIB, diduga dilakukan oleh wanita.

3.Gereja Pantekosto (GPPS), Jalan Arjuna, Surabaya, Pukul 08.01 WIB, diduga dilakukan dengan menggunakan mobil (bisa bomnya disimpan di mobil, atau juga pelaku bom bunuh diri mobil).

Korban: 11 tewas dan 41 cedera (data hingga pukul 20.00 WIB).

Pelaku: belum ada keterangan resmi lengkap dari Polri tentang pelaku dan dari kelompok mana. Kapolri telah mengatakan, para pelaku berasal dari satu keluarga (ayah-ibu-anak).

Catatan:

Pertama, dalam catatan sejarah aksi teror bom di Indonesia, kota Surabaya sebenarnya relatif aman. Bahwa kali ini Surabaya menjadi sasaran, langsung pula dengan serangan bom kembar tiga, berarti ada semacam pergeseran prioritas sasaran di kalangan kelompok pelaku, yang alasannya sulit diidentifikasi. Mungkin salah satu pertimbangannya karena Surabaya dapat dikategorikan sebagai kota terbesar kedua setelah Jakarta di Indonesia. Dan di Surabaya terdapat konsulat Amerika.

Kedua, banyak orang mengaitkan teror Surabaya dengan aksi kerusuhan narapidana teroris (Napiter) di Markas Komando (Mako) Brimob Kelapa Dua Depok, yang berlangsung 35 jam (dari Selasa malam, 8 Mei 2018 hingga Kamis pagi, 10 Mei 2018). Mungkin karena hanya berselang tiga hari. Kerusuhan ini ditindaklanjuti dengan pemindahan sebagian besar tahanan (145 dari 155) dari Mako Brimob ke Pulau Nusakambangan. 

Namun belum ada indikasi kuat adanya keterkaitan antara teror Surabaya dengan kerusuhan Napiter di Mako Brimob.

Ketiga, analisis bahwa aksi teror Surabaya berkaitan dengan agenda pembukaan Kedubes Amerika di Al-Quds (Jerusalem), juga sulit dikaitkan secara langsung. Sebab apa hubungannya antara gereja dengan peresmian Kedubes Amerika di Jerusalem, yang bertepatan dengan peringatan 70 tahun berdirinya negara Israel pada 14 Mei 2018.

Keempat, munculnya dugaan awal bahwa salah satu pelaku bom adalah wanita juga merupakan perkembangan kualitatif dalam aksi teror di Indonesia. Dan jika ini benar, ada kemungkinan pelaku wanita itu adalah istri atau salah satu kerabat dekat dari salah satu tersangka, baik Napiter yang masih ditahan ataupun yang tewas dalam penggerebekan, atau istri-istri dari orang-orang yang berangkat dan tewas di Suriah.

Saya pikir ini perkembangan kualitatitf yang sangat menarik dan karena itu perlu diantisipasi. Sebab menurut data Kemenkumham, jumlah Napiter di berbagai penjara di seluruh Indonesia, per Mei 2018 sebanyak 216 orang (Kompas, edisi 12 Mei 2018), plus 155 Napiter yang awalnya ditahan di Mako Brimob lalu dipindahkan ke Nusakambangan. Totalnya berjumlah 371 orang. Kalau diasumsikan masing-masing dari mereka punya istri dua (dan biasanya seperti itu), berarti ada lebih dari 700 istri Napiter yang berada di luar penjara. Mereka bisa menjadi lethal weapon, yang tiap saat bisa beraksi.

Kelima, pernyataan Kapolri bahwa pelaku terdiri dari satu keluarga (ayah-ibu-anak) adalah pernyataan yang sungguh seksi. Sebab jika ini benar (sambil menunggu konfirmasi berdasarkan tes DNA), akan menjadi kasus pertama dalam sejarah teror di Indonesia. Hal ini juga mengirim sinyal bahaya yang sangat menyeramkan, sebab menunjukkan bahwa proses indoktrinasi radikalisme telah berlangsung sedemikian dahsyatnya dalam keluarga pelaku tersebut.

Keenam, jika mengacu pada aksi teror besar sebelumya (Bom Sarinah Thamrin, 14 Januari 2016) lalu disandingkan dengan aksi teror Surabaya pada 13 Mei 2018, berarti ada interval waktu sekitar 25 bulan. Interval yang cukup lama. Periode ini mungkin dapat dijadikan acuan bahwa kelompok pelaku membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat matang dalam melaksanakan aksi berskala besar.

Ketujuh, berduka atas semua korban tak berdosa dalam aksi teror bom Surabaya, dan mengecam abis para pelakunya.

Syarifuddin Abdullah | 13 Mei 2018 / 27 Sya'ban 1439H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun