Pertama, maksimalisasi perang maya di Medsos. Termasuk publikasi hoax. Tiap kubu akan menggiring kubu lain ke dalam "jebakan pertarungan isu" yang menggerogoti. Di sini, permainan cerdas akan sangat menentukan. Yang perlu dicatat dalam poin ini: sumberdaya aparat hukum tidak cukup untuk membendung perang maya. Sebab, perang maya berlangsung sangat massif dan tiap kubu bisa menggunakan server atau beroperasi dari negara lain.
Kedua, akan kembali muncul maksimalisasi isu dalam tiga lini secara simultan: sosial (sukuisme dan asal daerah); keagamaan (memompa keraguan publik tentang agama Paslon tertentu atau isu mayoritas-minoritas); dan hukum (kasus-kasus korupsi dan dugaan kongkalikong antara penguasa dan pengusaha).
Ketiga, mobilisasi massa mengambang (pekerja dan siswa/mahasiswa). Karena Pilpres 2019 berlangsung nasional, maka skenario Pilgub DKI akan dimodifikasi, berubah menjadi mobilisasi pemilih yang berdomisili di luar Dapil-nya agar kembali ke Dapilnya pada hari pencoblosan, tentu dengan menggunakan isu yang sama (variabel kedua). Artinya, massa mengambang (yang sering tidak peduli dengan pencoblosan) akan diarahkan untuk ambil cuti agar bisa menggunakan hak pilihnya di Dapil-nya, guna memenangkan Paslon tertentu.
Keempat, jika diasumsikan Pilpres 2019 diikuti 3 Paslon (kecenderungannya mengarah ke 3 Paslon), berarti akan kembali terjadi fenomena limpahan suara dari Paslon yang tersingkir di putaran pertama. Artinya, bisa diperkirakan, Paslon Petahana akan unggul di putaran pertama, lalu ada Paslon yang meraih peringat kedua (berhak maju ke putaran kedua) dan peringkat ketiga (tersingkir).
Di sini, ada dua poin yang perlu diantisipasi: (a) pemilih Paslon yang tersingkir di putaran pertama sebenarnya juga menentang Petahana. Karena itu, diasumsikan mereka akan lebih cenderung beralih ke Paslon penentang yang meraih peringkat dua; (b) perolehan suara petahana di putaran pertama, diasumsikan telah maksimal. Perlu kerja keras dan juga cerdas untuk menggoda pemilih limpahan dari Paslon yang tersingkir agar beralih ke Paslon petahana. (catatan: dua poin ini, yang kurang cerdas diolah oleh kubu Paslon Ahok-Djarot pada Pilgub DKI 2017).
Karana itu, bagi Petahana, akan sangat menguntungkan jika hanya ada dua Paslon yang maju di Pilpres 2019. Dengan begitu, Pilpres 2019 bisa berlangsung satu putaran, dan diasumsikan akan dimenangkan oleh Petahana. Sebaliknya, bagi kubu Paslon penentang akan diuntungkan jika ada tiga Paslon. Sebab Paslon yang meraih peringkat kedua memiliki peluang besar untuk berharap bisa mengolah limpahan suara dari Paslon yang tersingkir di putaran pertama.
Catatan akhir: dua kubu besar yang akan bertarung di Pilpres 2019 adalah fotokopi dari dua kubu yang bertarung di Pilgub DKI 2017. Benar kata banyak orang bahwa Pilgub DKI 2017 adalah miniatur Pilpres 2019, dan karena itu, skenario Pilgub DKI sangat dimungkinkan kembali didaur ulang pada Pilpres 2019.
Selamat berdemokrasi, dan kita berharap semua pihak, khususnya para pemilih dari kubu manapun, dapat berdemokrasi secara damai dan cerdas, pada Pemilu 2019.
Syarifuddin Abdullah | 12 April 2018 / 26 Rajab 1439H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H