Tak pernah ada satu pun buku yang berhasil menjatuhkan sebuah pemerintahan. Makanya, kebijakan pembredelan buku tak pernah efektif. Sebaliknya, pembredelan sering menjadi bumerang, karena justru memicu animo pembaca untuk mencari dan membaca buku yang dibredel. Makin dilarang, makin diminati. Ini mirip dengan kebijakan pembatasan atau pelarangan rokok, yang semakin dilarang malah justru makin dicari dan diminati.
Jika buku saja tak pernah ada preseden suksesnya dalam menjatuhkan pemerintahan, mosok iya, sebuah puisi yang hanya terdiri dari 157 kata (911 hurup) -- termasuk hurup-hurup judulnya: "Ibu Indonesia" -- bisa menjatuhkan wibawa sebuah agama.
Terkait itu, ada sebuah kasus yang mirip tapi tak sama. Pada 19 Februari 2018, seorang intelektual di Kerjaaan Saudi Arabia (KSA), Muhammad Al-Suhaimi, dalam wawancara dengan televeisi MBC, justru menyampaikan sesuatu yang lebih radikal dibanding puisi Sukmawati: Al-Suhaimi mengusulkan pengurangan jumlah masjid di KSA. Salah satu alasannya: jarak antar masjid di KSA sangat berdekatan, dan masing-masing masjid mengumandangkan azan dengan pengeras suara, sehingga suara azan antar satu masjid dengan masjid lainnya saling bersahut-sahutan, dan hal ini dianggap mengganggu kenyamanan publik. Artinya, bagi Muhammad Al-Suhaimi, azan bukan hanya tidak indah, tapi justru dianggap mengganggu.
Saya membaca beberapa kali pusi Sukmawati, mencoba memahaminya, dan akhirnya saya tiba pada beberapa catatan berikut:
Pertama, melalui puisi naratif itu, Sukmawati mempublikasikan atau menelanjangi dirinya sendiri sebagai seorang Muslimah, tapi dipastikan tidak memiliki pemahaman substantif tentang esensi ajaran agamanya. Jangan heran jika analoginya dalam puisi itu ngawur dan boyak.
Kedua, substansi ajaran agama itu bukan "keindahan", Mbak. Sebab tiap keindahan lebih cenderung subjektif, tidak rasional, dan tidak konstan.
Ketiga, puisi Sukmawati itu juga zonder kedalaman pemahaan tentang sejarah kebangsaan. Sebab kebangsaan, di manapun di dunia ini, tidak pernah hanya terdiri dari hanya satu unsur. Kebangsaan adalah gabungan berbagai komponen dan legasi.
Keempat, puisi "Ibu Indonesia" lebih merupakan narasi seorang ibu yang kesepian, berisi kegundahan emosional yang tidak terkontrol, makanya sarat dengan pesan superioritas. Dan mohon maaf kalau saya menilainya sebagai bukti ketidakmatangan intelektualitas.
Kelima, dalam praktek keagamaan (agama apapun), ada yang disebut girah. Ketika muncul kasus Ahok, saya pernah menulis artikel berjudul: "Jangan Bermain Api dengan Ghirah Keagamaan!"(Kompasiana, 07 Oktober 2016), yang antara lain menegaskan:
"Kata ghirah adalah semacam proses rasa dalam mengidentifikasi diri dengan sesuatu/seseorang. Artinya, ghirah itu lebih dominan rasa, dibanding logika. Dalam hal tertentu, ghirah juga kadang tidak bisa dijelaskan dengan argumen rasionalitas..." Karena itu, "...komunitas yang tersentuh ghirah-nya sebenarnya sedang mengalami suasana batin, yang kira-kira sama dengan lirik lagu: "Sakitnya tuh di sini", sambil menyentuhkan tangannya ke dada kiri, bukan ke kepala (logika)..."
Syarifuddin Abdullah | 04 April 2018 / 19 Rajab 1439H