Secara global dan regional, sering tanpa penjelasan yang benar-benar rasional, tahun 2030 memang menjadi acuan oleh berbagai agenda: positif maupun negatif.
Di Australia, sejak Desember 2008, muncul gagasan "Melbourne 2030",yang fokus menjadikan Merbourne sebagai kota yang memiliki pertumbuhan berkesinambungan, dan tetap layak ditinggali. Ini positif.
Pada 25 September 2015, di Markasnya di New York, PBB mencanangkan Agenda "Transforming our World: the2030 Agenda for Sustainable Development" biasa disingkat "2030 Agenda"(Pembangunan Berkelanjutan 2030).
Pada 2016, Kerajaan Saudi Arabia (KSA) juga menahbiskan 2030 sebagai tahun puncak reformasi sosial dan ekonominya. Ini juga positif.
Ketika kemudian muncul dan beredar video pidato Prabowo yang mengatakan ada prediksi Indonesia akan bubar pada 2030, publik terkesan kaget. Khususnya setelah pernyataan itu ditanggapi langsung atau tidak langsung oleh sejumlah pejabat: Presiden, Wapres, Jubir Kepresidenan, dan sejumlah tokoh nasional.
Saya coba mencermati pidato Prabowo (pertama kali melihatnya awal Maret 2018), dan kesimpulan awal saya: itu pidato politik, yang kira-kira menyetir bahwa alasan "bubar negeri" itu merujuk pada tiga variabel kunci: kemiskinan, kesenjangan ekonomi, penguasaan sumber daya (tiga kasus yang sebenarnya satu paket).
Dan kalau mau jujur, isu "Indonesia bubar" itu bukan isu baru. Pada akhir 1990-an, pernah ada pakar asal Australia yang memprediksi (tanpa menentukan waktunya) bahwa akhirnya Indonesia akan terbagi ke dalam tiga negara (barat, tengah, timur). Prediksi itu bahkan sudah dilengkapi peta pembagiannya.
Memang sering disebutkan bahwa salah satu alasan yang bisa memicu negara bubar adalah utang. Tapi ini pandangan a-historis. Pada awal Maret 2018, media-media Australia juga merelease sebuah kajian tentang 8 negara di dunia, yang berpotensi masuk dalam debt trap China(jebakan utang China). Namun di sini tidak ada Indonesia (Ke-8 negara itu adalah Djibouti, Tajikistan, Kyrgistan, Lao, Maladiv, Mongolia, Pakistan dan Montenegro). Negara-negara masuk dalam lingkaran agenda ekonomi global China yang disebut "Belt dan Road", sebuah skema pinjaman lunak untuk proyek-proyek infrastruktur (jalan, jembatan, pipa gas, pelabuhan, rel kereta api, pembangkit listrik), yang total nilai investasi globalnya sekitar 113 miliar USD, dan merambah sekitar 60 negera di dunia (pidato Xi Jinping di Beijing, 15 Mei 2017). Dan salah satu sasaran utama agenda Belt dan Road adalah Indonesia.
Namun terkait utang ini, pakar ekonomi sudah punya teori tangkisannya: selama jumlah utang sekitar 3 persen dari PDB, berarti utang masih aman. Â
Tapi secara historis, utang tidak pernah menjadi alasan utama bubarnya suatu negara (setidaknya di mata pendukung kapitalisme). Sebab negara kreditor justru berkepentingan agar negara debitor tetap utuh, jangan sampai bubar, agar bisa bayar utangnya. Bahwa utang berpotensi "menggerogoti kedaulatan" sebuah negara, iya. Itu benar, tapi hal ini pun masih debatable. Singkat kalimat, meski Indonesia sering diposisikan sebagai salah satu negara pengutang terbesar di dunia, namun utang negara tidak berkorelasi positif dengan bubarnya sebuah negara.
Lantas dari mana datang pernyataan bubar negara itu?