Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pesona 2030, antara Negeri dan Ngeri

27 Maret 2018   12:00 Diperbarui: 27 Maret 2018   18:02 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Prabowo membawa novel Ghost Fleet (karya August Cole dan P. W. Singer) pada sebuah seminar di UI, Jakarta, 18 September 2017 (dok. GerindraTV dalam news.detik.com).

Setelah ribut-ribut cuap selama hampir tiga pekan, akhirnya mulai terungkap sejumlah penjelasan latar belakang pidato Prabowo. Pada sebuah seminar di Universitas Indonesia (UI), 18 September 2017, Prabowo menunjukkan tiga buku, salah satunya berjudul Ghost Fleet(terbit 2015),yang sebenarnya novel, tapi ditulis dua ahli strategi dan intelijen Amerika (August Cole dan P. W. Singer), yang mengulas sebuah skenario perang antara Cina dan Amerika tahun 2030. "Yang menarik dari sini bagi kita hanya satu. Mereka (pengarang buku) meramalkan tahun 2030 Republik Indonesia sudah tidak ada lagi," kata Prabowo dalam seminar itu. Karena itu, menurut Ferry Juliantono, novel Ghost Fleet itulah yang menjadi salah satu rujukan Prabowo.

Ferry Julianto menambahkan, Prabowo sudah berkali-kali mengeluarkan peringatan serupa di hadapan kader Gerindra. Rekaman pidato Prabowo yang beredar itu, juga hasil olah ulang terhadap pidato Prabowo di acara temu kader nasional Gerindra pada Oktober 2017.

Mungkin karena ingin mengklarifikasi, anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Jenderal (Purn) Djoko Santoso mengatakan, pidato Prabowo Subianto terkait soal Indonesia bubar 2030 adalah prediksi militer. Itu biasa dalam dunia militer: membuat prediksi-prediksi (Jakarta Senin 26 Maret 2018). Tapi pernyataan Djoko Santoso ini justru menjadi penjelasan yang tidak menjelaskan.

Apapun itu, sekali lagi, itu pidato politik, dengan menggandeng "Pesona 2030". Tidak aneh bila kemudian muncul beragam respon yang juga bernuansa politik banget, misalnya, bahwa Indonesia akan bertahan sampai kiamat.

Terkait isu itu, saya hanya ingin menyampaikan tiga catatan ringan:

Pertama, mestinya lembaga-lembaga riset di Indonesia, yang konon banyak pakarnya itu, merespon pidato itu dengan kajian yang serius. Bukan malah ikut-ikutan merespon dengan gaya amatiran. Dan salah satu variabel kunci dalam kasus bubarnya sebuah negara adalah konflik horisontal, yang berpotensi mengundang intervensi negara asing.

Kedua, dalam hitungan strategis, periode 12 tahun menuju 2030 (dihitung dari 2018) memang bukan rentang waktu yang pajang. Selama periode itu, Indonesia masih akan menjalani 3 kali Pemilu (2019, 2024, 2028). Dan bisa dibayangkan, selama 12 tahun ke depan, lompatan kemajuan di bidang teknologi informasi akan semakin dahsyat. Kontrol lembaga negara dan institusi publik terhadap sirkulasi informasi publik bakal semakin berkurang. Mungkin karena itulah, seorang teman lantas bercanda begini: kata 'negeri' itu hanya beda satu hurup lho dengan kata 'ngeri'.

Ketiga, dari berbagai sudut kajian, momentum tahun paling menarik bagi Indonesia sesungguhnya bukan 2030, tetapi 2045. Ketika Republik Indonesia mencapai usia seratus tahun. Dan saya termasuk orang yang ingin tetap hidup merayakan meriahnya 17 Agustusan pada 2045. Hehehehe.

Syarifuddin Abdullah | 27 Maret 2018 / 11 Rajab 1439H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun