Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pesona 2030, antara Negeri dan Ngeri

27 Maret 2018   12:00 Diperbarui: 27 Maret 2018   18:02 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara global dan regional, sering tanpa penjelasan yang benar-benar rasional, tahun 2030 memang menjadi acuan oleh berbagai agenda: positif maupun negatif.

Di Australia, sejak Desember 2008, muncul gagasan "Melbourne 2030",yang fokus menjadikan Merbourne sebagai kota yang memiliki pertumbuhan berkesinambungan, dan tetap layak ditinggali. Ini positif.

Pada 25 September 2015, di Markasnya di New York, PBB mencanangkan Agenda "Transforming our World: the2030 Agenda for Sustainable Development" biasa disingkat "2030 Agenda"(Pembangunan Berkelanjutan 2030).

Pada 2016, Kerajaan Saudi Arabia (KSA) juga menahbiskan 2030 sebagai tahun puncak reformasi sosial dan ekonominya. Ini juga positif.

Ketika kemudian muncul dan beredar video pidato Prabowo yang mengatakan ada prediksi Indonesia akan bubar pada 2030, publik terkesan kaget. Khususnya setelah pernyataan itu ditanggapi langsung atau tidak langsung oleh sejumlah pejabat: Presiden, Wapres, Jubir Kepresidenan, dan sejumlah tokoh nasional.

Saya coba mencermati pidato Prabowo (pertama kali melihatnya awal Maret 2018), dan kesimpulan awal saya: itu pidato politik, yang kira-kira menyetir bahwa alasan "bubar negeri" itu merujuk pada tiga variabel kunci: kemiskinan, kesenjangan ekonomi, penguasaan sumber daya (tiga kasus yang sebenarnya satu paket).

Dan kalau mau jujur, isu "Indonesia bubar" itu bukan isu baru. Pada akhir 1990-an, pernah ada pakar asal Australia yang memprediksi (tanpa menentukan waktunya) bahwa akhirnya Indonesia akan terbagi ke dalam tiga negara (barat, tengah, timur). Prediksi itu bahkan sudah dilengkapi peta pembagiannya.

Memang sering disebutkan bahwa salah satu alasan yang bisa memicu negara bubar adalah utang. Tapi ini pandangan a-historis. Pada awal Maret 2018, media-media Australia juga merelease sebuah kajian tentang 8 negara di dunia, yang berpotensi masuk dalam debt trap China(jebakan utang China). Namun di sini tidak ada Indonesia (Ke-8 negara itu adalah Djibouti, Tajikistan, Kyrgistan, Lao, Maladiv, Mongolia, Pakistan dan Montenegro). Negara-negara masuk dalam lingkaran agenda ekonomi global China yang disebut "Belt dan Road", sebuah skema pinjaman lunak untuk proyek-proyek infrastruktur (jalan, jembatan, pipa gas, pelabuhan, rel kereta api, pembangkit listrik), yang total nilai investasi globalnya sekitar 113 miliar USD, dan merambah sekitar 60 negera di dunia (pidato Xi Jinping di Beijing, 15 Mei 2017). Dan salah satu sasaran utama agenda Belt dan Road adalah Indonesia.

Namun terkait utang ini, pakar ekonomi sudah punya teori tangkisannya: selama jumlah utang sekitar 3 persen dari PDB, berarti utang masih aman.  

Tapi secara historis, utang tidak pernah menjadi alasan utama bubarnya suatu negara (setidaknya di mata pendukung kapitalisme). Sebab negara kreditor justru berkepentingan agar negara debitor tetap utuh, jangan sampai bubar, agar bisa bayar utangnya. Bahwa utang berpotensi "menggerogoti kedaulatan" sebuah negara, iya. Itu benar, tapi hal ini pun masih debatable. Singkat kalimat, meski Indonesia sering diposisikan sebagai salah satu negara pengutang terbesar di dunia, namun utang negara tidak berkorelasi positif dengan bubarnya sebuah negara.

Lantas dari mana datang pernyataan bubar negara itu?

Setelah ribut-ribut cuap selama hampir tiga pekan, akhirnya mulai terungkap sejumlah penjelasan latar belakang pidato Prabowo. Pada sebuah seminar di Universitas Indonesia (UI), 18 September 2017, Prabowo menunjukkan tiga buku, salah satunya berjudul Ghost Fleet(terbit 2015),yang sebenarnya novel, tapi ditulis dua ahli strategi dan intelijen Amerika (August Cole dan P. W. Singer), yang mengulas sebuah skenario perang antara Cina dan Amerika tahun 2030. "Yang menarik dari sini bagi kita hanya satu. Mereka (pengarang buku) meramalkan tahun 2030 Republik Indonesia sudah tidak ada lagi," kata Prabowo dalam seminar itu. Karena itu, menurut Ferry Juliantono, novel Ghost Fleet itulah yang menjadi salah satu rujukan Prabowo.

Ferry Julianto menambahkan, Prabowo sudah berkali-kali mengeluarkan peringatan serupa di hadapan kader Gerindra. Rekaman pidato Prabowo yang beredar itu, juga hasil olah ulang terhadap pidato Prabowo di acara temu kader nasional Gerindra pada Oktober 2017.

Mungkin karena ingin mengklarifikasi, anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Jenderal (Purn) Djoko Santoso mengatakan, pidato Prabowo Subianto terkait soal Indonesia bubar 2030 adalah prediksi militer. Itu biasa dalam dunia militer: membuat prediksi-prediksi (Jakarta Senin 26 Maret 2018). Tapi pernyataan Djoko Santoso ini justru menjadi penjelasan yang tidak menjelaskan.

Apapun itu, sekali lagi, itu pidato politik, dengan menggandeng "Pesona 2030". Tidak aneh bila kemudian muncul beragam respon yang juga bernuansa politik banget, misalnya, bahwa Indonesia akan bertahan sampai kiamat.

Terkait isu itu, saya hanya ingin menyampaikan tiga catatan ringan:

Pertama, mestinya lembaga-lembaga riset di Indonesia, yang konon banyak pakarnya itu, merespon pidato itu dengan kajian yang serius. Bukan malah ikut-ikutan merespon dengan gaya amatiran. Dan salah satu variabel kunci dalam kasus bubarnya sebuah negara adalah konflik horisontal, yang berpotensi mengundang intervensi negara asing.

Kedua, dalam hitungan strategis, periode 12 tahun menuju 2030 (dihitung dari 2018) memang bukan rentang waktu yang pajang. Selama periode itu, Indonesia masih akan menjalani 3 kali Pemilu (2019, 2024, 2028). Dan bisa dibayangkan, selama 12 tahun ke depan, lompatan kemajuan di bidang teknologi informasi akan semakin dahsyat. Kontrol lembaga negara dan institusi publik terhadap sirkulasi informasi publik bakal semakin berkurang. Mungkin karena itulah, seorang teman lantas bercanda begini: kata 'negeri' itu hanya beda satu hurup lho dengan kata 'ngeri'.

Ketiga, dari berbagai sudut kajian, momentum tahun paling menarik bagi Indonesia sesungguhnya bukan 2030, tetapi 2045. Ketika Republik Indonesia mencapai usia seratus tahun. Dan saya termasuk orang yang ingin tetap hidup merayakan meriahnya 17 Agustusan pada 2045. Hehehehe.

Syarifuddin Abdullah | 27 Maret 2018 / 11 Rajab 1439H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun