Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Strategi PDIP dan Jokowi dalam Memilih Bakal Cawapres

25 Februari 2018   22:00 Diperbarui: 25 Februari 2018   23:03 1535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiap deskripsi atau analisis tentang siapa Cawapres yang paling pas mendampingi Jokowi pada Pilpres 2019, mungkin perlu mengacu pada tiga variabel pendahuluan yang sangat signifikan dan mungkin paling menentukan:

Pertama, peluang Jokowi maju lagi sebagai Capres 2019 nyaris tak terbendung. Boleh dibilang, masih yang terkuat. Artinya, siapapun Cawapresnya Jokowi sebenarnya tidak terlalu signifikan.

Kedua, perhitungan strategis PDIP dan Jokowi, terkait Cawapres, bukan hanya untuk Pilpres 2019, tapi jauh lebih penting adalah proyeksi terhadap pertarungan di Pilpres 2024.

Ketiga, bahwa pada akhirnya, penentuan dan penetapan siapa Cawapres pendamping Jokowi, bukan sepenuhnya keputusan Jokowi, tapi juga harus melibatkan PDIP, dan itu berarti mesti merujuk ke "sentuhan akhir (finishing touch) ibu Megawati Soekarnoputri.

Karena itu, menurut saya, tanpa menghitung tiga variabel kunci pendahuluan di atas, semua kesimpulan analisis tentang bakal Cawapres Jokowi akan cenderung mengawang bahkan ngelantur. Bahkan mungkin nyasar atau kehilangan orientasi di tengah belantara data dan berbagai kecanggihan metode analisis.

Saya tidak menafikan, seperti biasanya, bahwa ada semacam pakem acuan: normal bila Jokowi memilih bakal Cawapres yang paling berpotensi mendulang suara tambahan. Tapi ini saja tidak cukup.

Juga normal jika Jokowi memilih bakal Cawapres dengan pertimbangan atau memperhatikan perimbangan antara Jawa-luar Jawa, Barat-Timur, Nasionalis-Agamis, atau bahkan Muslim-non Muslim dan seterusnya.

Tapi percaya deh, mengacu pada pengalaman Pilpres-pilpres sebelumnya, kan tidak gampang - untuk tidak menyebutnya mustahil - menemukan figur Cawapres yang memenuhi syarat-syarat perimbangan tadi: Jawa-luar Jawa, Barat-Timur, Nasionalis-Agamis, atau mungkin Muslim-Non Muslim.

Karena itu, strategi pertama dan utama bagi Jokowi dan terutama bagi PDIP adalah Cawapres pendamping Jokowi pada Pilpres 2019, adalah figur yang bukan cuma "diasumsikan" tapi juga sebisa mungkin "bisa dipastikan" tetap setia dan komit pada platform politik PDIP di Pilpres 2024.

Sebab pada Pilpres 2024 nanti, Jokowi tak berhak lagi maju sebagai Capres (sudah dua periode). Artinya Wapresnya Jokowi (dengan asumsi menang dan berkuasa pada periode 2019-2024), yang memiliki peluang terbesar maju sebagai Capres pada Pilpres 2024.

Tamsil penjelas: katakanlah Jokowi memilih Muhaimin Iskandar sebagai Cawapres Jokowi di Pilpres 2019. Pertanyaanya, apakah Muhaimin Iskandar masih bisa dipegang manuvernya pada Pilpres 2024. Saya termasuk yang tidak yakin.

Artinya Cawapres pendamping Jokowi di tahun 2019, sangat berpotensi berbalik menjadi "penantang" PDIP di Pilpres 2024. Dan poin inilah yang tampaknya ingin dihindari oleh PDIP, dan ini juga strategi utama PDIP dalam memilih Cawapres pendamping Jokowi untuk Pilpres 2019.

Syarifuddin Abdullah | 25 Februari 2018 /  10 Jumadil-tsani 1439H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun