Kedua, Iran merupakan satu-satunya negara di Timur Tengah yang memusuhi Israel dan memiliki sistem pertahanan udara, yang sulit ditembus oleh Israel. Iran memiliki sistem pertahanan udara tercanggih produk Rusia (S-400).
Ketiga, Iran merupakan satu-satunya negara Timur Tengah yang memosisikan diri sebagai musuh Amerika (pelindung utama Israel). Logikanya, jika kepada "pelindung (Amerika)" saja Iran berani melawan, apalagi terhadap yang dilindungi (Israel). Dan pada saat yang sama, bersama Suriah, Iran adalah negara yang mendapatkan komitmen perlindungan dari Rusia.
Keempat, seluruh pejabat Israel, juga semua warga Yahudi di Israel, memahami betul bahwa para mulah penguasa di Teheran saat ini adalah tipe orang-orang yang tidak mempan digertak, tak gampang dijinakkan, tak enteng pula diprovokasi, dan jangan berharap bisa ditakut-takuti.
Kelima, Iran adalah satu-satunya negara musuh Israel, yang memiliki akses langsung ke perbatasan Israel (melalui Lebanon dan Suriah). Sebaliknya, Israel tidak memiliki basis untuk menempel ke perbatasan Iran.
Keenam, Iran adalah satu-satunya negara di Timur Tengah yang memiliki pasukan proxy yang berbasis di luar perbatasan negaranya: Hezbullah di Lebanon, milisi Syiah di Irak, milisi Al-Houti di Yaman, dan tentu saja kemitraan strategisnya dengan rezim Bashar Assad.
Singkat kalimat, kepanikan Israel sungguh beralasan. Dan justru akan keliru besar bila tidak panik. Dan hampir bisa dipastikan, perkembangan kualitatif yang terjadi pada 10 Februari 2018 mengirim pesan jelas: itu baru "awal dari sebuah permulaan".
Syarifuddin Abdullah | 13 Februari 2018 / 28 Jumadil-ula 1439H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H