Sejak peristiwa penembakjatuhan jet tempur F16 milik Israel oleh rudal S-200 di atas wilayah Suriah pada 10 Februari 2018, dan selama dua-tiga hari terakhir, mungkin tanpa sengaja, berbagai pernyataan pejabat Israel, dengan mudah bisa disimpulkan bahwa Israel sedang mengalami kepanikan yang sungguh serius.
Bahkan Menteri Perumahan Israel (yang bertanggung jawab soal pemukiman Yahudi di Palestina) pun ikut memberikan komentar kepanikan: "Iran harus mundur ke timur sejauh 1.500 Km (maksudnya militer Iran harus menarik diri dari Suriah dan kembali ke Iran)".
Para pejabat Israel bahkan memunculkan istilah baru: Poros Setan Berkaki Tiga (Iran-Suriah-Hizbullah), yang menurut Benjamin Netanyahu harus diurai dan dihancurkan. Istilah ini untuk meng-counter istilah yang diperkenalkan Iran, yakni Poros Perlawanan Berkaki Tiga (Iran-Suriah-Hizbullah).
Indikator lain bahwa kepanikan Israel sungguh serius adalah karena kepanikan itu bukan hanya terbaca melalui pernyataan verbal, tapi juga terlihat jelas melalui kebijakan dan langkah-langkah penggelaran pasukan militer di lapangan.
Pada 11 dan 12 Februari 20018 (dan masih terus berlanjut) Israel menggelar rudal anti pesawat juga sistem pertahanan udara Iron Dome di perbatasan utaranya, yang berhadapan dengan Dataran Tinggi Golan Suriah dan Lebanon Selatan. Selama ini, sistem Iron Dome Israel lebih fokus dan digelar di bagian selatan, ke arah Jalur Gaza, untuk menghadapi serangan rudal Hamas.
Kepanikan Israel itu semakin menjadi-jadi, karena pernyataan dari Teheran Iran (selama dua hari terakhir) juga semakin kencang dan tanpa tedeng aling-aling. Para pejabat Iran terkesan menggunakan metode klasik: "Pukul besi ketika masih panas". Penasehat Dewan Keamanan Nasional Iran, Ali Shamkhani menegaskan, "Penembak-jatuhan jet F16 Israel merupakan titik peralihan yang signifikan dalam konstelasi konflik di Timur Tengah".
Ali Akbar Velayati, penasehat Imam Ali Khamenei bidang internasional mengatakan, "Israel harus tahu, tiap serangan terhadap Suriah akan dibalas dengan serangan serupa... Dan keberadaan Iran di Suriah akan berlanjut dan tetap".
Sekedar kilas balik, sejak Perang Oktober 1973, dan Perang Lebanon Selatan tahun 1982, Israel boleh dibilang menikmati kenyamanan relatif dengan berada pada kondisi seolah-olah tak ada lawan (seng ada lawan), setelah sukses menggalang dan meyakinkan negara-negara tetangganya tentang keunggulan militernya.
Namun konfrontasi langsung pada 10 Februari 2018, secara kasat mata dan juga berdasarkan perhitungan taktis-strategis militer, membuktikan bahwa "keyamanan seng ada lawan" itu mungkin belum berakhir, tapi sudah mulai menguap. Kini muncul lawan tangguh yang harus dihadapi secara serius: Iran.
Selain itu, pernyataan-pernyataan bernada ancaman, yang secara bergantian dilontarkan para pejabat militer dan politik Israel selama tiga hari terakhir mengingatkan kita pada sebuah teori psikologi, yaitu "Mengancam adalah salah satu indikator kelemahan dan ketidakberdayaan". Â Namun ungkapan paling jujur tentang kepanikan yang sungguh serius itu justru disampaikan, mungkin tanpa sengaja, oleh Z. Latz, seorang pembaca koran Haaretz Israel, yang berkomentar begini, "This is really funny to guess WHY F16 was downed. It does not matter. Fact is - it was downed... 'vulnerabilities'. IAF today is bleak shadow of IAF of 1970s. Like all of IDF (Sungguh lucu bila masih berspekulasi KENAPA F16 bisa ditembak jatuh. Bukan itu persoalannya. Faktanya, F16 itu ditembak jatuh, dan itu berarti Israel dalam posisi rentan. Kondisi suram Angkatan Udara Israel saat ini sama dengan kondisinya di tahun 1970-an, begitu juga semua matra pertahanan Israel)".
Dan di atas kertas dan juga berdasarkan fakta, kepanikan Israel itu memang beralasan. From now on, mau tidak mau, Israel terpaksa harus memosisikan Iran sebagai lawan tangguh, karena sejumlah faktor berikut:
Pertama, Iran adalah satu-satunya negara di Timur Tengah yang hingga kini konsisten memposisikan diri sebagai musuh Israel dan terang-terangan memusuhi Israel.