Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kasus Kegagalan Konstruksi Bisa Jadi Bumerang untuk Jokowi

11 Februari 2018   12:15 Diperbarui: 11 Februari 2018   21:40 2417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jujur diakui bahwa dari sekian banyak program unggulan pemerintahan Jokowi, yang paling menonjol dan layak diapresiasi adalah program menggenjot pembangunan infrastruktur, khususnya di bidang transportasi: jalan, terowongan, jembatan, rel dan keretanya.

Namun sejumlah kasus gagal kontruksi yang terjadi di berbagai titik sejak awal 2018, mengirim sinyal kecemasan, yang bisa meningkat menjadi bom waktu di masa mendatang. Jika tak dibenahi secara serius, program unggulan itu berpotensi menjadi bumerang.

Jamak dimaklumi, setiap kegagalan konstruksi --baik runtuh, tumbang, ambruk, ambrol, longsor-- yang terjadi ketika masih dalam proses pembangunan, akan diasumsikan lebih karena tidak memenuhi standar konstruksi. Human error. Padahal bisa saja karena faktor alam, seperti musim penghujan saat ini.

Dan yang menarik, kegagalan konstruksi itu bukan hanya di Jakarta saja, tapi juga di luar Jakarta. Mungkin belum layak disebut fenomena. Tapi kasus kecelakaan konstruksi yang sudah lebih dari tiga kasus, dalam periode waktu yang berdekatan, menurut saya, sudah layak dijadikan sinyal peringatan merah, red alert, yang mestinya menjadi perhatian serius. Sebab jika kegagalan konstruksi hanya terjadi pada satu titik mungkin masih dapat diperlakukan dan disikapi sebagai murni kecelakaan.

Menarik membaca artikel Putu Setia (di kolom Cari Angin, Koran Tempo, 10 Februari 2018) berjudul "Runtuh", yang memaparkan sejumlah kegagalan konstruksi:

  • Runtuhnya beton penyangga tiang listrik jembatan proyek MRT di Jakarta Selatan.
  • Runtuhnya tiang di ruas tol Depok-Antasari.
  • Runtuhnya konstruksi proyek kereta api cepat yang menghubungkan Kelapa Gading-Velodrome di Kayu Putih, Jakarta Timur.
  • Tumbangnya crane pembangunan konstruksi rel dwiganda di Jalan Slamet Riyadi, Matraman, Jakarta.
  • Runtunya deck jembatan Dompak di Riau.
  • Runtuhnya hanggar Bandara Sultan Hasanuddin di Makasar.
  • Runtuhnya tiang penyangga pembangunan jalan layang di atas ruas tol Pasuruan-Probolinggo.

Tidak semua kasus kecelakaan akibat kegagalan konstruksi (ambruk, tumbang, ambrol, longsor) diliput secara masif. Beberapa kasus yang korban tewasnya lebih banyak dibanding kasus terowongan Bandara Soekarno Hatta, luput dari peliputan yang semestinya.

Peristiwa ambrolnya dinding beton terowongan di jalan Perimeter Selatan, di kawasan Bandara Cengkareng, pada 5 Februari 2018, menjadi pengecualian. Sebab tayangan langsung proses evakuasi dua wanita korbannya yang berlangsung sekitar 14 jam: Dyanti Diyah Ayu (wafat) dan Muhkmainah Syamsuddin (selamat dengan luka-luka dan patah tulang). Semua sumber daya dari para pihak terkait terlihat dikerahkan secara maksimal.

Publik mestinya dan sebaiknya tidak gampang menyalahkan pihak tertentu. Cuma jangan salahkan juga bila publik merujuk rahasia umum: tiap kegagalan konstruksi biasanya akan dianalisa sebagai peristiwa yang dipicu sejumlah faktor: kongkalikong antara kontraktor dan pemilik proyek; pengawasan tidak maksimal; memburu waktu tenggat proyek; praktek sub-kontrak yang berakibat pada manipulasi dana proyek melalui manipulasi standar kualitas konstruksi dan seterusnya.

Jika diasumsikan bahwa program unggulan genjot pembangunan infrastruktur tersebut akan rampung pada tahun 2018 dan 2019, maka program unggulan itu bisa menjadi bumerang, bila fenomena kegagalan konstruksi kembali terjadi berantai di tahun 2018 (biasa disebut tahun politik), apalagi di tahun 2019 (tahun yang politik banget).

Sebab jika kegagalan konstruksi itu justru terjadi setelah dioperasikan dan difungsikan, respon dan analisis publik bisa melebar ke mana-mana, jumlah korban mungkin akan lebih banyak, liputan media akan mendayu-dayu, komentar para netizen akan berkibar-kibar, dan sopasti, proses pembenahannya bisa lebih mahal dan memakan waktu lebih lama.

Pesannya klasik dan jelas: berbagai kasus kegagalan konstruksi -- runtuh, tumbang, ambruk, ambrol, longsor -- yang terjadi ketika masih dalam proses pembangunan, jika tak dibenahi secara serius, berpotensi menjadi bancakan politik menjelang Pilpres 2019.

Syarifuddin Abdullah | 11 Februari 2018 / 26 Jumadil-ula 1439H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun