Becak, dalam bahasa Inggris biasa disebut dengan nama keren: cycle rickshaw. Ciri utamanya adalah mengandalkan human-power (tenaga manusia). Mungkin karena itulah sehingga muncul argumen l'homme par l'homme (man by man), setiap kali mencuat wacana becak.
Pada akhir 1980-an sampai awal tahun 1990, menjelang pelaksanaan keputusan penghapusan becak di Jakarta, salah satu tokoh yang ngotot saat itu adalah almarhum Nurcholis Madjid, yang sempat mengemukakan argumen l'homme par l'homme (man by man).
Idiom Prancis l'homme par l'homme kira-kira bermakna eksploitasi manusia terhadap manusia lainnya. Dan menurut Nurcholis Madjid, transportasi becak di Jakarta bisa dikategorikan fenomena l'homme par l'homme. Nurcholis Madjid bahkan sempat menyejajarkan becak di Indonesia dengan kendaraan yang serupa becak, yang populer dalam film-film klasik Hongkong/China: kendaraan yang mirip delman, yang ditarik oleh manusia. Tukang tariknya benar-benar seperti kuda atau sapi.
Dan seperti diketahui, becak memang akhirnya dilarang beroperasi di wilayah Jakarta pada April 1990, yang ditetapkan melalui Perda DKI Jakarta No 11/1988, yang dikeluarkan pada era Gubernur Wiyogo Atmodarminto.
Tapi argumentasi l'homme par l'homme menjadi blunder. Karena kenapa hanya di argumenkan untuk wilayah Jakarta saja? Saat itu, sisa becak di Jakarta, sebagian memang pulang atau dipulangkan ke berbagai daerah. Namun sebagian lainnya tetap beroperasi di pinggiran Jakarta: Bekasi, Tangerang, Depok.
Bahkan selama periode Krismon 1998, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, pernah secara lisan membiarkan becak beroperasi di DKI Jakarta.
Poinnya adalah bahwa pelarangan atau pembolehan becak di Jakarta atau di mana pun, mestinya diposisikan sebagai sebuah kebijakan saja, yang semata dan hanya mengacu pada perhitungan asas manfaat dan untung ruginya. Dan jangan berharap, setiap kebijakan akan membuat semuanya diuntungkan atau sebaliknya, semuanya dirugikan.
Ada yang berargumen: jika becak kembali beroperasi di Jakarta, kemacetan akan bertambah parah, he he he. Seolah-olah setiap kebijakan mengatasi kemacetan Jakarta sudah efektif selama ini. Lagi pula, kalau kembali dibolehkan, wilayah operasional becak bisa dilokalisasi.
Sekadar mengingat ulang: ketika dan setelah Pemda DKI Jakarta memberlakukan TransJakarta, kemacetan tetap saja terjadi. Sebab, idealnya, TransJakarta mestinya dibuatkan jalur khusus dan terpisah. Tapi ini mengambil space jalan yang sudah ada dan sudah macet. Jangan heran, pada titik tertentu, TransJakarta bukannya mengurangi kemacetan, tapi malah memperparah. Dan begitulah karakter setiap kebijakan. Ada proses trial and error. Saya pernah mendengar bocoran bahwa Polda Metro Jaya sebenarnya merekomendasikan untuk tidak memaksakan pengoperasian TransJakarta, kecuali jika TransJakarta dibuatkan jalur khusus.
Tentu, kelompok sosial yang paling diuntungkan oleh kebijakan pembolehan becak di Jakarta adalah komunitas tukang becaknya sendiri. Mungkin juga termasuk beberapa orang yang tiba-tiba menjadi "bandar becak". Juga calon penumpangnya.
Kalau tukang ojek reguler, yang saat ini pasang tarif tinggi-tinggi, siapa yang diuntungkan? Kalau tukang ojek online, siapa pula yang paling diuntungkan? I'm sure, you all know who they are.
Dan ada kebiasaan para pengamat dan politisi, yang sebenarnya lumrah, cuma kurang pas saja dalam menyikapi tiap kebijakan dengan kacamatanya sendiri, perhitungannya sendiri atau mungkin kelompoknya. Tanpa menghitung untung-rugi yang bersifat langsung untuk kelompok masyarakat, yang menjadi tujuan pemberlakuan sebuah kebijakan. Dalam soal becak, ya, komunitas utamanya adalah tukang becak.
Bagi tukang becak, investasinya cuma satu kali (beli becaknya). Setelah itu, plong, mungkin sesekali servis becak. Tinggal melihat apakah masih kuat menarik atau sudah loyo. Tapi kalau tukang ojek, selain modalnya "tinggi", servis motornya secara reguler lumayan menguras kocek, dan harus beli BBM tiap hari. Becak kan nggak pake BBM.
Menyikapi pembolehan atau pelarangan becak, jangan juga dipandang seolah-olah becak adalah barang baru di Indonesia. Hingga saat ini, di sejumlah kota besar di Asia, becak masih bisa ditemukan, dengan variasi yang unik, dan tetap menjadi salah satu andalan transportasi jarak pendek.
Di beberapa kota besar di Pulau Jawa, kita juga masih akrab menemui becak dan komunitas tukang becak. Contoh paling kasat mata adalah tukang becak di kawasan Malioboro, Yogyakarta di mana jalur becak dibatasi, diatur dan dikoordinasi. Hasilnya normal-normal saja.
Bagi saya, mau tetap dilarang atau becak kembali boleh beroperasi di Jakarta, nggak jadi soal. Tapi mohon, jangan menggunakan argumen l'homme par l'homme, yang sudah "gugur demi rasionalitas" itu.
Syarifuddin Abdullah | 31 Januari 2018 / 15 Jumadil-ula 1439H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H