Kalau tukang ojek reguler, yang saat ini pasang tarif tinggi-tinggi, siapa yang diuntungkan? Kalau tukang ojek online, siapa pula yang paling diuntungkan? I'm sure, you all know who they are.
Dan ada kebiasaan para pengamat dan politisi, yang sebenarnya lumrah, cuma kurang pas saja dalam menyikapi tiap kebijakan dengan kacamatanya sendiri, perhitungannya sendiri atau mungkin kelompoknya. Tanpa menghitung untung-rugi yang bersifat langsung untuk kelompok masyarakat, yang menjadi tujuan pemberlakuan sebuah kebijakan. Dalam soal becak, ya, komunitas utamanya adalah tukang becak.
Bagi tukang becak, investasinya cuma satu kali (beli becaknya). Setelah itu, plong, mungkin sesekali servis becak. Tinggal melihat apakah masih kuat menarik atau sudah loyo. Tapi kalau tukang ojek, selain modalnya "tinggi", servis motornya secara reguler lumayan menguras kocek, dan harus beli BBM tiap hari. Becak kan nggak pake BBM.
Menyikapi pembolehan atau pelarangan becak, jangan juga dipandang seolah-olah becak adalah barang baru di Indonesia. Hingga saat ini, di sejumlah kota besar di Asia, becak masih bisa ditemukan, dengan variasi yang unik, dan tetap menjadi salah satu andalan transportasi jarak pendek.
Di beberapa kota besar di Pulau Jawa, kita juga masih akrab menemui becak dan komunitas tukang becak. Contoh paling kasat mata adalah tukang becak di kawasan Malioboro, Yogyakarta di mana jalur becak dibatasi, diatur dan dikoordinasi. Hasilnya normal-normal saja.
Bagi saya, mau tetap dilarang atau becak kembali boleh beroperasi di Jakarta, nggak jadi soal. Tapi mohon, jangan menggunakan argumen l'homme par l'homme, yang sudah "gugur demi rasionalitas" itu.
Syarifuddin Abdullah | 31 Januari 2018 / 15 Jumadil-ula 1439H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H