Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tentang Becak dan Asumsi "l'homme par l'homme"

31 Januari 2018   19:31 Diperbarui: 1 Februari 2018   18:05 1128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Kompas.com/Setyo Adi

Kalau tukang ojek reguler, yang saat ini pasang tarif tinggi-tinggi, siapa yang diuntungkan? Kalau tukang ojek online, siapa pula yang paling diuntungkan? I'm sure, you all know who they are.

Dan ada kebiasaan para pengamat dan politisi, yang sebenarnya lumrah, cuma kurang pas saja dalam menyikapi tiap kebijakan dengan kacamatanya sendiri, perhitungannya sendiri atau mungkin kelompoknya. Tanpa menghitung untung-rugi yang bersifat langsung untuk kelompok masyarakat, yang menjadi tujuan pemberlakuan sebuah kebijakan. Dalam soal becak, ya, komunitas utamanya adalah tukang becak.

Bagi tukang becak, investasinya cuma satu kali (beli becaknya). Setelah itu, plong, mungkin sesekali servis becak. Tinggal melihat apakah masih kuat menarik atau sudah loyo. Tapi kalau tukang ojek, selain modalnya "tinggi", servis motornya secara reguler lumayan menguras kocek, dan harus beli BBM tiap hari. Becak kan nggak pake BBM.

Menyikapi pembolehan atau pelarangan becak, jangan juga dipandang seolah-olah becak adalah barang baru di Indonesia. Hingga saat ini, di sejumlah kota besar di Asia, becak masih bisa ditemukan, dengan variasi yang unik, dan tetap menjadi salah satu andalan transportasi jarak pendek.

Di beberapa kota besar di Pulau Jawa, kita juga masih akrab menemui becak dan komunitas tukang becak. Contoh paling kasat mata adalah tukang becak di kawasan Malioboro, Yogyakarta di mana jalur becak dibatasi, diatur dan dikoordinasi. Hasilnya normal-normal saja.

Bagi saya, mau tetap dilarang atau becak kembali boleh beroperasi di Jakarta, nggak jadi soal. Tapi mohon, jangan menggunakan argumen l'homme par l'homme, yang sudah "gugur demi rasionalitas" itu.

Syarifuddin Abdullah | 31 Januari 2018 / 15 Jumadil-ula 1439H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun