Keempat, netizen mungkin memang perlu memposisikan semua postingan di medsos sebagai salah satu sumber informasi saja, yang harus dicurigai lebih dulu, dan karena itu perlu dikonfirmasi, selalu dan terus menerus.
Bagi pembaca serius, cek-recek seperti ini sebenarnya lumrah saja. Persoalannya adalah karena konon banyak pengguna internet di Indonesia (mungkin juga di dunia), yang selama hidupnya belum pernah membaca buku sampai habis. Mereka ini barangkali bisa disebut komunitas yang belum memiliki tradisi keilmuan: mempertanyakan setiap informasi yang diterima/dibaca.
Kelima, tapi jangan juga menganggap publik netizen bego-bego amat, sedemikian rupa sehingga seolah-olah mereka sangat mudah percaya dan dipengaruhi oleh hoax. Memang benar bahwa faktor emosi dan latarbelakang netizen cukup menentukan.
Tapi mungkin logikanya mesti dibalik: ketika netizen tidak melihat adanya perimbangan pemberitaan di media-media mainstream tentang sebuah kasus (politik, sosial, agama, kirminal, dan seterusnya), jangan salahkan bila netizen akan menjadikan medsos sebagai sumber informasi alternatif.
Keenam, dengan segala hormat kepada media-media nasional mainstream, tapi biar fair, juga mesti dinyatakan bahwa setiap media, betapa pun netral dan profesionalnya, tetap saja mewakili dan mengemban misi dan kebijakan redaksional tertentu. Pemberitaaannya juga perlu diperlakukan dengan curiga.
Syarifuddin Abdullah | 01 Januari 2018 / 14 Rabu'ul-tsani 1439H.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H