Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Selamat Natal! Bagi yang Merayakannya

24 Desember 2017   08:20 Diperbarui: 24 Desember 2017   08:52 2563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fatwa MUI tentang Natal, diolah

Saya duduk santai sambil membaca koran di sebuah bangku yang cukup untuk tiga-empat orang, di sebuah taman kota di jantung kota Kairo pada akhir tahun 1980-an. Lalu datang seorang lelaki tua, yang juga ingin duduk di bangku itu. Sebelum duduk, dengan santun, lelaki tua itu mengucapkan assalamu alaikum. Tentu saya menjawabnya, wa alaikumussalam.

Kejadian lain yang sering terjadi: saya menyetop taksi, lalu taksi berhenti, saya membuka pintu dan langsung duduk, sambil menyampaikan tujuan. Sebelum menjawab, supir taksi biasanya akan menegur santun, "Saudaraku, ucapkan salam dulu, kek". Saya pun mengucapkan salam.

Tiap tahun, sudah menjadi tradisi, ulama-ulama Al-Azhar di Mesir menghadiri undangan resmi perayaan Natal di Gereja Kristen Coptic Mesir. Dan pasti dalam kehadiran itu, mereka pasti mengucapkan Selamat Natal.

Lelaki tua yang mengucapkan salam sebelum duduk di bangku, supir taksi yang menegur santun agar penumpangnya mengucapkan salam ketika naik taksi, keduanya tanpa bertanya dulu: "Anda Muslim atau non-Muslim?"

Bagi orang Arab pada umumnya, mengucapkan selamat yang mirip dengan Selamat Merayakan Natal sudah lama bahkan sejak awal tak dipersoalkan, karena dua alasan utama:

Pertama, karena ucapan itu diposisikan sebagai bagian dari tradisi pergaulan sesama warga. Tidak lebih dan tak kurang. Mereka mengucapkan Selamat Natal dengan pemaknaan biasa, seperti selamat pagi, selamat siang, selamat sore atau selamat malam.

Kedua, karena orang Arab memiliki ungkapan ucapan selamat, yang dapat digunakan untuk semua moment: kullu sanah wa anta thayyib ( ), atau kullu sanah wa anta bikhair ( ). Kedua ungkapan ini, jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia bermakna, "Selamat berulang tahun, semoga Anda selalu sehat/bahagia". Dua ungkapan selamat ini digunakan untuk hari lahir perorangan, atau peringatan apapun, termasuk peringatan hari-hari besar keagamaan, seperti Natal dan Tahun Baru atau hari-hari perayaan nasional, misalnya hari kemeredekaan nasional.

Dalam Bahasa Arab, "Selamat Natal" diartikan Selamat Berulang Tahun. Sebab makna asli Christmasadalah "Ulang Tahun" atau idul milad, yang dimaknai khusus: "Hari Kelahiran untuk Jesus".

Warga Arab terutama di Mesir, Lebanon, Suriah, Irak, yang sebagian penduduknya beragama Kristen, persoalan mengucapkan selamat Natal sudah tak lagi dipersoalkan. Jika pun dipersoalkan, mereka bisa mengucapkan selamat Natal, dengan menggunakan ungkapan selamat, yang berlaku umum tersebut: kullu sanah wa anta thayyib atau kullu sanah wa anta bikhair.

Tapi mengucapkan Selamat Natal bagi umat Islam di Indonesia tampaknya masih menjadi persoalan, terutama karena dua Fatwa MUI 1981 tentang Natal dan Fatwa Penjelasan MUI tahun 2016 tentang Atribut Natal, yang tampaknya dikeluarkan karena ada pertimbangan khusus. Dan pertimbangan khusus dalam setiap fatwa ulama atau lembaga memang sangat lazim dalam Islam.

Seperti diketahui, poin ke-2 Fatwa MUI, 01 Maret 1981 berbunyi "Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram".

Sementara Fatwa MUI, 14 Desember 2016, poin-1 berbunyi: "Menggunakan atribut keagamaan non-Muslim adalah haram", yang dijelaskan bahwa: "Atribut keagamaan adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah maupun tradisi dari agama tertentu".

Terkait dua fatwa itu, saya ingin menyampaikan sejumlah catatan berikut:

Pertama, saya yakin semua sepakat bahwa seorang Muslim tidak boleh mengikuti dan melakukan "ritual keagamaan" perayaan Natal.

Kedua, dua fatwa MUI itu tidak mempersoalkan ucapan Selamat Natal secara tegas. Karena itu, sebagian kelompok menyebutkan, tidak ada larangan mengucapkan selamat Natal.

Ketiga, phrasa "...maupun tradisi dari agama tertentu" dalam Fatwa MUI 2016 memang dirumuskan dengan redaksional yang lentur. Dan kelenturan redaksional inilah, yang tampaknya digunakan oleh sebagian kelompok Islam, untuk tidak membolehkan ucapan Selamat Natal.

Keempat, dengan tetap menghormati pandangan yang mungkin berbeda, namun secara pribadi, sudah lama saya tidak mempersoalkan masalah mengucapkan Selamat Natal. Saya memposisikannya seperti ucapan "selamat ulang tahun" biasa kepada siapapun. Seperti ucapan salam lelaki tua di taman kota atau penumpang taksi di Kairo itu. Saya tidak yakin bila hanya mengucapkan Selamat Natal dapat mendistorsi keimanan atau aqidah seorang Muslim.

Kelima, sebelumnya saya pernah mengusulkan: mungkin perlu juga dipertimbangkan agar para pakar bahasa Indonesia merumuskan sebuah ungkapan selamat, seperti ungkapan selamat dalam Bahasa Arab di atas, yang dapat digunakan untuk mengucapkan selamat untuk momen apa saja.

Syarifuddin Abdullah  | 24 Desember 2017 / 06 Rabiul-tsani 1439H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun