Sementara Fatwa MUI, 14 Desember 2016, poin-1 berbunyi: "Menggunakan atribut keagamaan non-Muslim adalah haram", yang dijelaskan bahwa: "Atribut keagamaan adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah maupun tradisi dari agama tertentu".
Terkait dua fatwa itu, saya ingin menyampaikan sejumlah catatan berikut:
Pertama, saya yakin semua sepakat bahwa seorang Muslim tidak boleh mengikuti dan melakukan "ritual keagamaan" perayaan Natal.
Kedua, dua fatwa MUI itu tidak mempersoalkan ucapan Selamat Natal secara tegas. Karena itu, sebagian kelompok menyebutkan, tidak ada larangan mengucapkan selamat Natal.
Ketiga, phrasa "...maupun tradisi dari agama tertentu" dalam Fatwa MUI 2016 memang dirumuskan dengan redaksional yang lentur. Dan kelenturan redaksional inilah, yang tampaknya digunakan oleh sebagian kelompok Islam, untuk tidak membolehkan ucapan Selamat Natal.
Keempat, dengan tetap menghormati pandangan yang mungkin berbeda, namun secara pribadi, sudah lama saya tidak mempersoalkan masalah mengucapkan Selamat Natal. Saya memposisikannya seperti ucapan "selamat ulang tahun" biasa kepada siapapun. Seperti ucapan salam lelaki tua di taman kota atau penumpang taksi di Kairo itu. Saya tidak yakin bila hanya mengucapkan Selamat Natal dapat mendistorsi keimanan atau aqidah seorang Muslim.
Kelima, sebelumnya saya pernah mengusulkan: mungkin perlu juga dipertimbangkan agar para pakar bahasa Indonesia merumuskan sebuah ungkapan selamat, seperti ungkapan selamat dalam Bahasa Arab di atas, yang dapat digunakan untuk mengucapkan selamat untuk momen apa saja.
Syarifuddin Abdullah  | 24 Desember 2017 / 06 Rabiul-tsani 1439H
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI