Konon, sepanjang sejarah kemanusiaan, dari Adam-Hawa dan mungkin sampai kiamat nanti, praktek homo dan lesbi nyaris tak pernah mengalami jeda. Selalu ada peminat dan penikmatnya.
Dan dalam melakoni realitas kehidupan, memang selalu ada beberapa hal yang sebelumnya dianggap tabu, lantas dianggap normal atau biasa banget. Atau sebaliknya. Ketika Nabi Adam dan Hawa baru punya anak-anak, tentu "perkawinan antar sesama saudara kandung" dibolehkan. Sebab memang tidak/belum ada "lawan jenis" kecuali antar sesama saudara/i kandung. Dan perkawinan antara sesama saudara kandung itu mungkin berlangsung selama beberapa generasi.
Dan kalau mau jujur, praktek LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender) ini sudah lama terjadi di Indonesia. Banyak peminat dan penikmatnya. Persoalan LGBT menjadi riuh dan gaduh karena muncul upaya legalisasi berdasarkan hukum positif, khususnya setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan judicial review untuk mengkriminalkan LGBT pada 14 Desember 2017.
Sekedar catatan, secara global, legalisasi perkawinan sesama jenis pertama terjadi di Belanda tahun 2001. Dan selama 17 tahun terakhir sudah tercatat 25 negara yang melegalkan perkawinan sesama jenis atau same sex marriage (lihat: foto ikustrasi). Dan gelombang itu, naga-naganya akan terus bertambah.
Jika realitas kehidupan penuh dengan fenomena aneh dan gasal atau menyimpang, yang memang tak bisa dihapus total, maka pertanyaan kuncinya adalah bagaimana menyikapinya?
Jika pertanyaan ini ditujukan khusus kepada yang Muslim/Muslimah, maka bagi saya, ada beberapa prinsip acuan yang mungkin layak dipertimbangkan:
Pertama, bagi Muslim dan Muslimah, LGBT tentu hukumnya haram, dan itu harga mati yang tak bisa ditawar-tawar. Saya belum pernah membaca pendapat ulama yang coba-coba menghalalkan atau membolehkan praktek LGBT.
Karena itu, biar fair, para pendukung LGBT silahkan berargumen, tapi jangan menggunakan alasan atau dalil keagamaan untuk membolehkan atau menghalalkan praktek LGBT.
Kedua, bahwa pengharaman suatu perbuatan atau perilaku, seringkali tidak bisa dirasionalkan atau dinalar-nalarkan. Meski sebagian orang mungkin menilai praktek LGBT sebagai perilaki menjijikkan atau perilaku seksual yang abnormal, tapi hukum haram itu tidak bisa dirasionalkan dengan mengatakan misalnya: menjijikkan atau abnormal. Kalau hukum agama sudah menegaskan hukumnya haram, yah sudah, haram saja.
Ketiga, kerangka hukum dalam Islam bersifat baku. Segala yang sudah jelas hukum haramnya harus diposisikan sebagai haram, tok. Sekali lagi, tidak satupun ulama yang coba memboleh-bolehkan praktek LGBT.
Di sini, kita tidak boleh melakukan penilaian hukum haram yang diskriminatif. Contoh: kalau kemarahan Anda bertegangan 100 volt terhadap praktek LGBT, maka kemarahan terhadap praktek pelacuran dan korupsi juga mestinya 100 volt. Karena tiga-tiganya (LGBT, berzina dan korupsi) berada pada posisi hukum yang sama: haram.