Sejak awal, saya termasuk yang sudah pesimistis terkait berbagai kemungkinan yang dapat diputuskan oleh peserta, termasuk delegasi Indonesia, dalam Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Kerjasama Islam (KTT OKI), yang akan dimulai 13 Desember 2017 besok di Istanbul Turki, dengan agenda utama: menyikapi "Trump Declaration" pada 06 Desember 2017, yang mengakui Quds/Jerusalem sebagai ibu kota Negara Isreal.
Catatan berikut ini adalah semacam imajinasi liar, sebagai upaya menjinakkan pesimistis yang terlanjur tertanam kuat terhadap setiap KTT OKI: Pertama, sehari sebelum "Trump Declaration", Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan sempat memberikan pernyataan terbuka pada 5 Des 2017 bahwa Yerusalem adalah dead-line, dan mengakuinya sebagai ibukota Isreal dapat berujung pada pemutusan hubungan diplomatik Turki-Israel.
Kedua, kalau bukan pemutusan hubungan diplomatik, ada alternatif lain yang lebih ringan: "membekukan hubungan" dengan Israel selama periode tertentu, katakanlah tiga bulan, guna memberi kesempatan kepada Amerika untuk membatalkan "Trump Declaration". Jika selama 3 bulan itu tidak terjadi perubahan sikap Donald Trump, maka pembekuan akan ditingkatkan menjadi pemutusan hubungan, yang dilakukan pada KTT berikutnya, katakanlah diselenggarakan di Teheran atau mungkin Kuala Lumpur dan Jakarta.
Ketiga, saya berimajinasi, KTT OKI akan mengeluarkan petisi kategori imbauan (sekedar imbauan) kepada seluruh warga di negara-negara anggotanya yang berjumlah 57 negara untuk melakukan boikot terhadap produk-produk Amerika dan Israel yanh diyakini mendukung kebijakan Trum Declaration, juga selama periode waktu tertentu, katakanlah tiga bulan.
Imbauan boikot itu akan dilampiri daftar nama produk dan produsen/perusahaan Amerika dan Israel, tapi tetap membiarkan warga/publik menentukan sendiri, produk mana yang paling mungkin diboikot. Dalam imajinasi saya, imbauan ini bisa efektif selama periode tertentu.
Keempat, ingin mengutip status seorang sahabat yang menulis kalimat yang bahkan imajinasi saya yang paling liar sekalipun tidak nyampe, berbunyi begini: "Mungkin nggak, Washington DC jadi ibukota Muslim se-dunia?" (akun Facebook SM, 11 Desember 2017). Lalu muncul komen lanjutannya yang mengatakan, "Lha mau demo nggak bisa, berangan-angan saja."
Saya lalu berimajinasi, gimana yah kalau KTT OKI di Istanbul mengeluarkan pernyataan mengakui "Washington DC sebagai ibukota Khilafah Islamiyah". Tentu tujuannya untuk mengolok-olok "Trump Declaration".
Atau --kalau mau imajinasi yang lebih ekstrem-- tiba-tiba ISIS mendeklarasikan New York City sebagai ibukota ISIS yang baru, meski gagal mempertahankan kota Mosul di Irak dan kota Raqqa di Suriah.
Kelima, sekedar mengingatkan bahwa OKI didirikan di Rabat, Maroko pada 25 September 1969 (12 Rajab 1389H) dalam Pertemuan Pertama para Pemimpin Dunia Islam yang diselenggarakan sebagai reaksi terhadap terjadinya aksi pembakaran Majid Al-Aqsa pada 21 Agustus 1969 oleh pengikut fanatik Yahudi di Jerusalem. Dan saya pikir, secara strategis, "Trump Declaration" jauh lebih berbahaya dibanding pembakaran Masjid Al-Aqsa. Sebab, "Trump Declaration" bukan hanya sekedar "membakar" tapi sejatinya menegasikan ekaistensi Masjid Al-Aqsa.
Keenam, meski tetap pesimis, tapi harus diapresiasi bahwa akhirnya OKI menggelar KTT, atas inisiatif Turki. Namun seperti saya tulis pada artikel sebelumnya (Kompasiana: OKI dan Liga Arab vs Trump Declaration, 09 Desember 2017), "...kalau tidak mau kecewa berat, jangan memasang harapan terlalu tinggi".
Berimajinasi sajalah!!!
Syarifuddin Abdullah | 12 Desember 2017 / 24 Rabiul-awal 1439H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H