Terhitung mulai 09 Desember, kaum homo dan lesbi di Australia dapat secara legal melakukan segala bentuk praktek homo dan lesbi, setelah Parlemen Australia pada 07 Des 2017 meloloskan UU yang membolehkan dan melegalkan perkawinan sesama jenis, yang dikenal dengan SSM (same-sex marriage). Dan legalisasi itu mendapatkan  sambutan luar biasa secara nasional Australia.
Pengakuan SSM itu diawali dengan mengubah defenisi "perkawinan" dalam UU Perkawinan (Marriage Act) Tahun 1961, yang semula rumusannya berbunyi:"union of a man and a woman" (menyatukan laki-laki dan perempuan)" menjadi "union of two people" (menyatukan dua orang). Selain itu, kata wife (istri) dan husband (suami) bisa diganti dengan hanya kata spouse (pasangan).
Guna membedakan sebutan untuk pasangan homo dan lesbi, muncul juga istilah baru: union of gay untuk homo dan couple of lesbi untuk lesbi.
Sebelum palu pengakuan parlemen diketuk, dalam suasana perdebatan dan adu argumentasi tentang SSM, pada Nopember 2017, sebuah jajak pendapat via email digelar dan hasilnya: 61 persen setuju SSM diundangkan.
Sebagai catatan, dalam sejarah parlemen Australia, tercatat sebanyak 22 kali upaya melegalkan SSM, namun semuanya gagal. Karena itu, legalisasi SSM pada Desember 2017, menjadi sangat spektakuler bagi pelaku homo dan lesbi, maupun simpatisan dan pendukungnya.
Catatan:
Pertama, fakta bahwa 61 persen warga Australia setuju SSM dilegalkan, menunjukkan bahwa praktek homo dan lesbi di Australia sudah merupakan bagian dari kehidupan keseharian. Sesuatu yang biasa banget.
Kedua, sekedar informasi, bahasa Arab, setahu saya, tidak memiliki kosakata tunggal yang original dan khusus digunakan untuk menunjuk praktek homo atau lesbi. Memang ada kata lawwath, khusus untuk homo (sesama lelaki). Sementara untuk lesbi, tidak ada bahasa Arabnya. Karena itu, pelaku homo atau lesbi, dalam bahasa Arab modern, lebih sering disebut al-mukhtahllu jinsiyan (orang yang perilaku seksualnya tidak normal). Tapi saya juga belum tahu apakah dalam bahasa Melayu ada kosa kata khusus yang original untuk menunjuk perilaku homo dan lesbi.
Ketiga, SSM Australia akan dibuatkan berbagai peraturan teknis, terutama terkait dengan pelayanan publik. Supir taksi misalnya tidak boleh menolak mengangkut penumpang homo atau lesbi. Pengusaha catering tidak boleh menolak pesanan dari pasangan homo atau lesbi.
Saya tidak tahu, apakah pemerintah Australia akan membentuk lembaga baru yang khusus bertugas mengawinkan pasangan homo atau lesbi. Atau proses pernikahan tetap dilaksanakan di gereja bagi penganut Kristen atau di masjid bagi yang Muslim (jika ada).
Keempat, homo dan lesbi, dari segi hukum agama Islam, semua ulama mengharamkannya. Tidak ada kompromi dalam hal ini. Namun bagi Parlemen Australia, homo dan lesbi tampaknya lebih diposisikan sebagai persoalan perilaku kebudayaan, atau bagian dari gaya hidup seperti minum alkohol, dan karena itu harus difasilitasi dan diatur oleh negara.
Kelima, salah satu alasan beberapa kelompok Islam yang menolak demokrasi adalah karena demokrasi membuka kemungkinan munculnya legalisasi persoalan (melalui voting di parlemen), yang membolehkan sesuatu yang jelas-jelas diharamkan menurut hukum Islam. Dan contoh yang biasa disebutkan: bagaimana kalau parlemen meloloskan UU yang mengakui dan melegalkan praktek homo dan lesbi? Dan sekarang terbukti di Australia.
Kelima, publik Indonesia mulai sekarang mungkin juga sudah harus bersiap menghadapi tuntutan serupa dari kaum gay dan lesbi Indonesia, yang akan mendesak DPR segera melegalkan praktek homo dan lesbi, baik karena alasan kebudayaan dan mungkin juga HAM atau kesetaraan jender. Tapi saya masih yakin, Parlemen di Senayan tidak akan meloloskannya dalam waktu dekat.
Syarifuddin Abdullah | 11 Desember 2017 / 23 Rabiul-awal 1439H.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H