Apa yang bisa dilakukan oleh Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan Liga Arab  (LA) terhadap "Trump Declaration" yang mengakui Quds/Jerusalem sebagai ibukota Israel pada 6 Desember 2017?
Jawaban singkatnya: nothing, kecuali pernyataan mengecam.
Saya berani mengatakan seperti itu karena selama lebih dari 20 tahun, saya relatif aktif dan intens mengikuti riwayat dan sepak terjang kedua organisasi multilateral tersebut.
Selama ini, pertemuan-pertemuan kedua organisasi itu, baik level kepala negara atau kepala pemerintahan, Menlu ataupun expert, lebih sebagai ajang silaturahim saja. Masing-masing delegasi akan menyampaikan pidato yang mewakili sikap negaranya, sebagian mungkin dengan ekspresi kemarahan. Tapi nyaris tidak pernah menghasilkan agenda untuk aksi bersama.
Karena itu, saya juga berani memastikan bahwa rencana pertemuan OKI di Istanbul Turki hanya akan berakhir dengan pernyataan kecaman, yang mungkin sangat keras. Tapi jangan berharap misalnya semua anggota OKI akan memutus hubungan diplomatiknya dengan Israel atau apalagi Amerika Serikat. Atau misalnya mengeluarkan perintah untuk memboikot produk Amerika atau Israel, walaupun dalam skala terbatas.
Hal yang sama dengan rencana pertemuan Menlu-Menlu Arab, juga akan berakhir dengan hasil serupa. Jangan berharap misalnya semua Menlu Arab itu akan menghasilkan keputusan untuk secara aklamasi misalnya memutus hubungan dengan Israel atau apalagi Amerika Serikat.
Ada beberapa catatan terkait sejumlah kesimpulan awal di atas:
Pertama, OKI yang kini beranggotakan 57 negara adalah sebuah organisasi yang sangat jumbo, masing-masing negara memiliki kepentingan, yang sering saling bertentangan antar sesama anggota. Konsekuensinya, hampir mustahil mengambil kebijakan aksi yang melibatkan semua anggotanya.
Hal yang sama terjadi pada Liga Arab, yang beranggotakan 22 negara. Ke-22 negara anggota Liga Arab itu juga menjadi anggota dalam OKI.
Kedua, kebijakan selevel "Trump Declaration" harus dicounter dengan kebijakan aksi, betapapun kecilnya. Sebab tidak akan terpengaruh dan takkan bisa diubah hanya dengan sebuah pernyataan kecaman, betapapun kerasnya.
Ketiga, kalau memperhatikan piagam  kedua organisasi itu (OKI dan LA), tidak ada satupun pasal atau klausulnya yang didesain untuk merespon kasus atau kebijakan selevel "Trump Declaration".
Keempat, OKI dan LA tidak memiliki mekanisme untuk merumuskan sebuah aksi yang bersifat masif, yang melibatkan semua anggotanya, terutama di bidang ekonomi dan militer. OKI, juga LA, lebih pas disebut organisasi kebudayaan atau kalau mau kebih keren: "sosialita politik".
Saya mungkin pesimis, tapi kesimpulan dan beberapa catatan singkat artikel ini mengacu pada perjalanan sejarah dua organisasi tersebut.
Tentu saya atau mungkin Anda berharap agenda pertemuan OKI di Istanbul (rencananya 12 Desember 2017) dan rencana pertemuan Menlu-menlu LA (waktu dan tempatnya bahkan belum ditentukan), akan menjadi pengecualian: berakhir dengan keputusan yang bersifat aksi nyata untuk merespon dan mengcounter ""Trump Declaration".
Tapi, kalau tidak mau kecewa berat, jangan memasang harapan terlalu tinggi.
Syarifuddin Abdullah | 09 Desember 2017 / 21 Rabiul-awal 1439H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H