Pada Sabtu pagi, 11 Nop 2017, jam 08.00 local time (LT), saya berangkat dengan kereta api dari Washington DC, menempuh jarak sekitar 230 mil (370 km), menuju dan tiba di New York City (NYC) jam 11.00 LT. Mata saya awas melek sepanjang perjalanan, dan mencatat beberapa stasuin utama yang dilewati dan disinggahi: Baltimore, Wilmington Delware dan Philadelpia.
Tentu banyak obyek yang amat layak dituju ketika berkunjung ke NYC. Tapi sejak awal berniat: saya ingin merasakan suasana batin berada di Ground Zero, di titik pondasi dua menara kembar World Trade Center (WTC), yang diserang dan runtuh ambruk setelah ditabrak oleh dua pesawat pada 11 September 2001, yang kemudian populer dengan sebutan serangan teror 9/11 (Nine Eleven) atau tanggal 11 bulan September.
Setibanya di Penn Stasiun NYC, langsung beralih ke Subway (kereta bawah tanah), yang mengarah ke Stasiun Chambers. Lalu berjalan kaki menuju kawasan Ground Zero.
Seperti diwanti-wanti oleh seorang teman yang sudah lama bermukim di New York dan bekerja di gedung PBB: suhu NYC sering lebih rendah dibanding Washington DC. Benar saja: begitu keluar dari stasiun bawah tanah ke permukaan, langsung terasa suhu dingin yanh menusuk. Saya membuka aplikasi pengukur dan penunjuk suhu di handphone: 3 derajat celcius. Pakaian dalam long-john, jaket, syal, kaus tangan dan penutup kepala, terasa tak mampu menahan udara dingin menembus kulit. Hanya bisa diimbangi dengan terus bergerak.
Saya tidak tertarik mampir di gedung memorial atau museumnya. Seperti niat awal, saya ingin berada di titik, persis di pondasi dua menara kembar WTC. Saya berjalan menuju dan akhirnya tiba titik itu, sekitar pukul 12.00 LT.
Setibanya di titik itu, agak aneh, saya tidak merasakan kesyahduan atau sentuhan spiritual. Yang muncul justru perasaan marah dan kesal. Ratusan pengunjung lainnya, sejauh pengamatan saya, juga tak satu pun yang tampak bersedih apalagi menangis. Sebagian besar pengunjung malah sibuk ketawa-ketiwi berfoto selfie.
Suasana Ground Zero memang tak didesain angker atau sangar. Tak terlihat nisan kuburan untuk para korban tewas, akibat serangan 9/11.
Masing-masing dari bekas dua pondasi dasar gedung WTC itu hanya berupa lubang raksasa persegi empat, seluas mungkin sekitar 70 x 70 meter, dengan kedalaman sekitar 10 meter, lalu di bagian tengah, ada lagi lubang kedua berukuran sekitar 10x10 meter. Bagian atas bibir lubang raksasa dibuat semacam pagar tembok setebal kira-kira 40 cm dan setinggi 100 cm yang mengelilingi lubang persegi itu. Secara keseluruhan tidak ada kesan estetika, yang memang tidak diperlukan untuk mengenang kematian demi kematian.
Bagian atas pagar beton yang selebar atau setebal 40cm itu, yang didesain dengan kemiringan sekitar lima derajat, terpahat nama-nama orang yang tewas pada hari itu. Sebagian sumber menyebutkan total korban sebanyak 2.911 orang.
Catatan: sumber lain menyebutkan angka 2.573 orang tewas. Namun menurut penghitungan kantor pemeriksa medis New York, hanya 1.115 jasad yang berhasil diidentifikasi. Masih ada sekitar 8 ribu potongan tubuh manusia, yang tidak berhasil dicocokkan DNAnya dengan DNA keluarga yang menyerahkan DNA-nya.
Saya mencermati para pengunjung yang lumayan padat. Sekilas saya perhatikan dari bahasa percakapan mereka, sore itu, sebagian besar pengunjung adalah bule-bule dari Eropa. Hanya terlihat beberapa wajah asal Asia. Jarang sekali terlihat wajah Arab.
Sambil berdiri takzim, saya memejamkan mata, mendaur ulang detik-detik peristiwa penabrakan dua pesawat ke dua menara WTC, yang ketika itu (11 Sept 2001), saya mengikutinya melalui layar televisi di sebuah rumah kontrakan di bilangan Kedoya, Jakarta Barat. Dan muncullah beberapa catatan-catatan berikut:
Pertama, penabrakan dua pesawat untuk menghancurkan dua menara yang merupakan salah satu simbol kedigdayaan Amerika, saat itu, yang menewaskan sekitar 3.000 orang dalam hitungan menit, sungguh sebuah serangan yang selain tanpa preseden, juga mungkin di luar jangauan imajinasi keamanan bahkan oleh pakar intelijen tercanggih sekalipun.
Kedua, respon kemarahan yang muncul dari para pejabat tinggi Amerika saat itu, juga menjadi niscaya. Tak aneh bila kemudian Presiden Amerika saat itu, Bush Jr., sempat membuat pernyataan yang melegenda: "either with us or against us (hanya ada dua pilihan: bersama kami atau melawan kami)", yang kemudian menjadi semacam acuan dasar dalam agenda war on terror secara global, melalui konsep pre-emptive.
Ketiga, adalah sangat wajar bila peristiwa 9/11 mengubah banyak paradigma dalam tatanan hubungan antar negara dan membolak-balikkan teori dan konsep keamanan nasional Amerika dan juga banyak negara
Kain. Teori dan konsep keamanan lama tiba-tiba menjadi usang, tak berguna dan tidak efektif. Yang tabu diwajarkan, atau yang tabu dibuat menjadi semakin tabu semata agar bisa diterima sebagai kewajaran.
Keempat, berbagai bangunan pencakar langit mewah yang baru dibangun dan kini mengelilingi Ground Zero, mungkin selamanya tidak akan mampu menghapus kebengisan serangan 9/11. Dan seperti diketahui, setelah itu, kebengisan lanjutannya juga semakin memperpanjang spiral kebengisan. Dan tak satupun pakar yang mampu memprediksi kapan akan berakhir. Semua riset tanpa kecuali menyimpulkan bahwa berbagai aksi untuk meredam teror sejak peristiwa 9/11, telah mencabut nyawa dalam jumlah berlipat-lipat ganda dibanding jumlah korban tewas yang terkubur di Ground Zero.
Kelima, Ground Zero barangkali juga sebagai bagian dari upaya melestarikan dan merawat ingatan kolektif kemanusiaan, yang bisa baik dan santun, tapi juga dapat terdorong untuk berlaku sangat bengis dan kejam.
Keenam, penamaan lokasi memorial itu sebagai ground zero(yang bisa diartikan titik dasar nol) juga mengirim pesan filosofis: bahwa untuk menciptakan keseimbangan yang mendekati sempurna, kadang harus didahului langkah berani untuk kembali ke nol dulu. Kosong, tanpa prasangka.
BERLANJUT
Syarifuddin Abdullah | 12 Nop 2017 / 23 Shafar 1439H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H