Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengurus KTP-el, Paradoks antara Barang Elektronik dan Antrean Manual

22 Oktober 2017   16:43 Diperbarui: 22 Oktober 2017   19:15 2423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada Sabtu 21 Oktober 2017, sekitar pukul 10.00 WIB, saya memasukkan berkas (fotokopi suket dan KK) di counter penerimaan berkas yang disiapkan di luar tenda utama oleh Kemendagri di lingkungan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Oleh petugas, warga diarahkan agar berkasnya diserahkan saja, sambil menuliskan nomor handphone di salah satu berkas. "Petugas kami akan mengirimk SMS, kalau KTP sudah selesai dicetak," kata petugas itu.

Saya menunggu sampai Minggu pagi (22 Okt). Tapi SMS pemberitahuan yang dijanjikan itu, tidak masuk-masuk juga. Mungkin petugas yang menerima berkas saya pada Sabtu siang (21 Okt), hanya ingin menenangkan warga yang menyerahkan berkasnya.

Akhirnya, pada Minggu pagi, saya memutuskan kembali ke TMII dan tiba sekitar pukul 09.00 WIB. Setelah jogging sekadarnya di lingkungan TMII, saya menuju tenda Kemendagri, dekat gedung Keong Emas.

Setelah bertanya dan ngobrol sesama pengurus KTP, saya diberitahu bahwa pengambilan KTP-el yang sudah cetak berada di sebuah tenda yang disiapkan khusus, yang bersisian dengan Gedung Sasana Kriya, persis di depan tenda utama Kemendagri

Saya menuju ke tenda yang berwarna putih itu. Di dalam tenda, antrean dibagi menurut abjad hurup awal nama. Tiap loket dijatah tiga hurup: ABC, DEF, GHI, JKL, MNO, PQR, dst. Saya mengantre di huruf "STU". Jam sudah menunjukkan pukul 09.30. Istri saya yang hurup awal namanya adalah "A" mengantre terpisah di loket yang bertanda ABC.

Di depan saya, pengantre sekitar 40 orang. Tapi ritme penyelesaian (penyerahan KTP el) terasa sangat lamban. Sekitar 10 menit per orang. Saya membatin, bisa sampai sore ini antrean. Setelah mengantre selama sekitar 30 menit, dan barisan antrean terasa tidak bergerak, saya mulai membatin: ini alamat buruk. Karena belum sarapan, saya memutuskan keluar antrean. Posisi antrean saya, saya ikhlaskan ditempati oleh seorang ibu-ibu. Jam sudah menunjukkan pukul 10.00. WIB.

Sekitar pukul 10.30 WIB, setelah sarapan, minum kopi dan ngepul dua batang rokok, saya kembali ke tenda antrean. Orang yang tadinya berada persis di depan saya pada antrean pertama, baru ngesot ke depan sekitar dua meter.

Ketika memasuki antrean yang kedua kalinya, di depan saya sekitar 30 orang. Karena pengaturan antreannya tidak teratur, biasa salip menyalip pun terjadi. Bahkan ada sejumlah warga yang menerobos dari belakang meja, yang langsung diteriaki warga yang sedang mengantre. Berkali-kali teriakan itu terdengar dengan kencang dan bernada marah.

Pukul 12.30 WIB, di tengah antrean, tiba-tiba muncul Mendagri Tjahjo Kumolo, bersama beberapa staf pendampingnya. Sang Menteri berdiri mungkin sekitar 30 menit, tepatnya di loket antrean hurup GHI. Mendagri hanya mengamati, sesekali terlihat memegang kertas fotokopian suket dan KK. Saya berupaya memotretnya.

Pukul 13.15 WIB, alhamdulillah, saya akhirnya nyampe juga di meja loket antrean. Saya langsung menyerahkan berkas fotokopian suket dan KK, lalu petugas memeriksa apakah KTP-el saya ada di antara bundelan KTP. Satu per satu dicek, dan akhirnya petugas menyatakan begini: KTP-el bapak (saya) belum dicetak alias belum jadi. Saat itu, jam di arloji sudah menunjukkan angka 13.30 WIB.

"Bagi yang belum dicetak KTP-el nya, pada hari ini, silahkan datang ke kantor kelurahan masing-masing mulai hari Rabu (25 Okt). Sebab KTP yang sudah dicetak berdasarkan berkas yang diserahkan di TMII, akan diserahkan ke kelurahan masing-masing. Silahkan ke sana mengambilnya," lanjut petugas.

Saya akhirnya memutuskan meninggalkan lokasi sekitar pukul 14.00 WIB. Sambil berharap semoga benar apa yang disampaikan petugas tadi bahwa KTP-el itu akan sudah ada di kelurahan pada 25 Okt 2017.

Beberapa catatan:

Pertama, secara pribadi, saya sungguh mengapresiasi inisiatif pembukaan pelayanan KTP-el selama empat hari (18 sd 22 Okt 2017) di TMII, yang tampaknya sebagai cross-agenda untuk menunjukkan niat pelayanan kepada warga.

Dan bagi sebagian warga, inisiatif itu berarti banget. Sebab dari keterangan sejumlah warga, ada yang sudah empat tahunan melakukan pendataan KTP-el, dan tetap saja memegang KTP yang masih berupa Surat Keterangan (suket) yang masa berlakunya enam bulan.

Namun Kemendagri tampaknya tidak mengantisipasi membludaknya warga yang ingin mencetak KTP-el. Hal itu terlihat terutama dari mekanisme antrean yang diatur asal-asalan.

Kedua, kehadiran Mendagri di lokasi tidak banyak membantu, kecuali mungkin hanya menambah keseriusan petugas melayani warga. Tapi kehadiran Mendagri tidak berpengaruh signifikan terhadap kelancaran antrean, yang sudah terlanjur amburadul.

Ketiga, mestinya KTP-el yang sudah dicetak dibuatkan list, lalu ditempel di suatu papan nama. Warga diminta melihat apakah namanya ada di list atau tidak ada. Yang terjadi, karena tidak ada list, semua orang ikut mengantre. Yang senasib dengan saya banyak sekali: begitu tiba di meja loket antrean, ternyata KTP-el belum dicetak. Akhirnya kita cuma bisa menyapu dada saja. Seorang ibu, sambil berjalan keluar anrtian dari depan menggerutu, "Gua udah ngantre lebih tiga jam, eh, KTP-el gua ternyata belum jadi juga. Kampret!!!"

Keempat, sebenarnya, tenda yang digunakan untuk penyerahan KTP seluas kira-kira 45 x 15 meter. Namun yang difungsikan hanya sekitar 25 x 15 meter. Sebab ada sekitar sepertiga space yang dibiarkan kosong dan tak difungsikan. Lalu hanya ada beberapa kipas angin besar. Bisa dibayangkan, sejak pagi, space itu ditumpleki, menurut perkiraan saya, sekitar 500 orang. Akibatnya semua yang antre pada basah kuyup oleh keringat. Dandanan ibu-ibu dan mbak-mbak tak tersisa lagi. Harum parfum terkalahkan oleh bau keringat yang mengucur deras dari banyak tubuh, yang kelelahan.

Kelima, asumsinya, sesuatu yang bersifat elektronik (baca: modern dan canggih) yang menempel pada KTP el seharusnya tak perlu lagi pake antrean. Di sini terjadi semacam paradoks: KTP elektronik yang mestinya sudah lebih lincah dibanding KTP yang dibuat manual, namun diurus dan dikelola dengan pola manual, mengakibatkan paradoks kebudayaan. Kita mengadopsi kemodernan (KTP-el) tapi pola pikir dan mental perilaku dan perlakuan kita belum beranjak dari budaya manual. Dan fenomena seperti ini bukan hanya terjadi di KTP elektronik.

Syarifuddin Abdullah | 22 Oktober 2017 / 02 Shafar 1438H.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun