Saya akhirnya memutuskan meninggalkan lokasi sekitar pukul 14.00 WIB. Sambil berharap semoga benar apa yang disampaikan petugas tadi bahwa KTP-el itu akan sudah ada di kelurahan pada 25 Okt 2017.
Beberapa catatan:
Pertama, secara pribadi, saya sungguh mengapresiasi inisiatif pembukaan pelayanan KTP-el selama empat hari (18 sd 22 Okt 2017) di TMII, yang tampaknya sebagai cross-agenda untuk menunjukkan niat pelayanan kepada warga.
Dan bagi sebagian warga, inisiatif itu berarti banget. Sebab dari keterangan sejumlah warga, ada yang sudah empat tahunan melakukan pendataan KTP-el, dan tetap saja memegang KTP yang masih berupa Surat Keterangan (suket) yang masa berlakunya enam bulan.
Namun Kemendagri tampaknya tidak mengantisipasi membludaknya warga yang ingin mencetak KTP-el. Hal itu terlihat terutama dari mekanisme antrean yang diatur asal-asalan.
Kedua, kehadiran Mendagri di lokasi tidak banyak membantu, kecuali mungkin hanya menambah keseriusan petugas melayani warga. Tapi kehadiran Mendagri tidak berpengaruh signifikan terhadap kelancaran antrean, yang sudah terlanjur amburadul.
Ketiga, mestinya KTP-el yang sudah dicetak dibuatkan list, lalu ditempel di suatu papan nama. Warga diminta melihat apakah namanya ada di list atau tidak ada. Yang terjadi, karena tidak ada list, semua orang ikut mengantre. Yang senasib dengan saya banyak sekali: begitu tiba di meja loket antrean, ternyata KTP-el belum dicetak. Akhirnya kita cuma bisa menyapu dada saja. Seorang ibu, sambil berjalan keluar anrtian dari depan menggerutu, "Gua udah ngantre lebih tiga jam, eh, KTP-el gua ternyata belum jadi juga. Kampret!!!"
Keempat, sebenarnya, tenda yang digunakan untuk penyerahan KTP seluas kira-kira 45 x 15 meter. Namun yang difungsikan hanya sekitar 25 x 15 meter. Sebab ada sekitar sepertiga space yang dibiarkan kosong dan tak difungsikan. Lalu hanya ada beberapa kipas angin besar. Bisa dibayangkan, sejak pagi, space itu ditumpleki, menurut perkiraan saya, sekitar 500 orang. Akibatnya semua yang antre pada basah kuyup oleh keringat. Dandanan ibu-ibu dan mbak-mbak tak tersisa lagi. Harum parfum terkalahkan oleh bau keringat yang mengucur deras dari banyak tubuh, yang kelelahan.
Kelima, asumsinya, sesuatu yang bersifat elektronik (baca: modern dan canggih) yang menempel pada KTP el seharusnya tak perlu lagi pake antrean. Di sini terjadi semacam paradoks: KTP elektronik yang mestinya sudah lebih lincah dibanding KTP yang dibuat manual, namun diurus dan dikelola dengan pola manual, mengakibatkan paradoks kebudayaan. Kita mengadopsi kemodernan (KTP-el) tapi pola pikir dan mental perilaku dan perlakuan kita belum beranjak dari budaya manual. Dan fenomena seperti ini bukan hanya terjadi di KTP elektronik.
Syarifuddin Abdullah | 22 Oktober 2017 / 02 Shafar 1438H.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H