Hari Ahad, 01 Oktober 2017, sekitar pukul 22.00 waktu Las Vegas, Amerika Serikat (Senin siang, 02 Okt 2017, sekitar pukul 12.00 WIB), dari sebuah kamar di lantai 32 hotel Mandalay Bay, Stephen Paddock (64 tahun) memuntahkan peluru senapannya kepada kerumunan yang berjumlah 22.000 orang, yang sedang asyik menonton musik country di sebuah pelataran yang berjarak tidak jauh dari Hotel Mandalay Bay.
Akibatnya, sampai artikel ini ditulis, korban tewas sebanyak 58 orang, dan lebih dari 500 orang terluka.
Catatan:
Pertama, Stephen Paddock, yang berusia 64Â tahun, adalah warga kulit putih, asal Mesquite, Nevada, Amerika, yang tidak punya catatan kriminal sebelumnya. Dalam Penggerebekan di rumahnya, polisi menemukan 20 pucuk senjata lainnya milik Paddock, yang menurut informasi awal, semuanya dibeli secara legal.
Kedua, Stephen Paddock sudah menginap di hotel Mandalay Bay, sejak 28 Sept 2017, atau tiga hari sebelum beraksi. Artinya, aksi brutal itu sudah dipersiapkan matang. Dengan menginap di lantai 32 menunjukkan, Paddock sudah mengantisipasi agar tak sempat dilumpuhkan oleh aparat keamanan ketika sedang beraksi. Praktis, dia bebas menuntaskan aksinya yang berlangsung sekitar 10 menit, sebelumnya akhirnya bunuh diri dengan senjatanya sendiri. Yang cukup aneh sebenarnya, karena Paddock bisa meloloskan senjata api masu ke hotel. Apalagi ada berita awal yang menyebutkan, di kamar Paddock terdapat 10 senapan lainnya. Dan tampaknya dia menggunakan kesepuluh senapan tersebut.
Ketiga, kalau dirata-rata tinggi setiap lantai di hotel sekitar 4 meter, dikalikan 32 lantai, berarti Paddock berada pada ketinggian sekitar 120 meter ke lantai dasar. Kalau dia menembak ke bawah dengan kemiringan 45 derajat, berarti sasaran tembaknya (kerumunan massa di bawah) masih berada pada jarak tembak yang efektif senapan, sekitar 200 sd 250 meter. Dan dia tidak perlu membidik. Sebab massa yang berjumlah sekitar 22.000 orang pasti berjubel dan berdesak-desakan.
Keempat, bisa diduga bahwa sebagian besar korban tewas tertembak di bagian kepala, leher, dada dan pundak. Mungkin inilah yang menyebabkan tingginya angka korban tewas (58 orang), dan besar kemungkinan masih akan bertambah, mengingat korban cedera yang sempat atau masih dirawat di rumah sakit lebih dari 500 orang.
Kelima, dalam sejarah moden aksi penembakan oleh warga di Amerika, aksi di Las Vegas merupakan aksi dengan korban tewas terbanyak, memecahkan rekor aksi penembakan di Pulse nightlub, Orlando, Florida, tahun 2016, yang menewaskan 49 orang. Seorang teman sambil bercanda mengatakan, aksi Stephen Paddock adalah sebuah aksi teror yang sangat efektif. Pelakunya tunggal, korbannya banyak, dan daya terornya luar biasa.
Keenam, hampir bisa dipastikan, kasus penembakan Las Vegas bukan aksi yang terakhir. Sebab Amerika masih mempertahankan kebijakan kebebasan kepemilikan senjata api bagi warganya. Meski persyaratan kepemilikan senjata cukup ketat, tapi selalu ada celah menyiasatinya, khususnya karena bisnis senjata merupakan salah satu dari tiga bisnis paling gurih dalam sejarah peradaban manusia setelah Narkoba dan hasil bumi.
Ketujuh, mengacu pada kasus-kasus sebelumnya, terus terang banyak orang yang gembira karana pelaku penembakan Las Vegas adalah warga Amerika yang bernama Stephen Paddock, bukan bernama misalnya Khaled, Omar, atau Muhammad. Sebab seandainya pelakunya beragama Islam, respon publik dan media global dan nasional Indonesia mungkin akan berbeda.
Syarifuddin Abdullah | 03 Oktober 2017 / 13 Muharram 1439H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H