Pada tiap Bulan September, di markas besarnya di New York, Amerika Serikat, PBB menggelar acara tahunan yang disebut Sidang Umum, yang dihadiri para pimpinan negara-negara anggota PBB. Acara intinya, biasanya hanya berupa pidato kepala delegasi. Tidak ada sesi tanya jawab.
Dan kebetulan, sejak awal 1990-an sampai saat ini, saya relatif aktif tiap tahun mengikuti dinamika SU PBB melalui tulisan-tulisan dan laporan seorang wartawan, yang berdomisili di London, bernama Jihad Khazen, yang tidak pernah absen meliput SU PBB sejak tahun 1970-an. Laporannya dapat diakses di harian berbahasa Arab Al-Hayat, yang terbit di London dan diedarkan ke semua negara Arab.
Dan saya memiliki beberapa catatan:
Pertama, ada sebuah paradoks dalam Sidang Umum. Di satu sisi, SU dihadiri oleh banyak pemimpin tertinggi suatu negara (raja, presiden, perdana menteri), namun di sisi lain, menurut catatan saya, tidak ada atau jarang sekali SU mengambil sebuah kebijakan kolektif, yang memiliki pengaruh signifikan terhadap suatu kasus yang berpengaruh secara global.
Kedua, secara kelembagaan, sesuai piagamnnya, PBB memang memperlakukan semua anggotanya pada derajat yang sama. Namun akan menjadi naif bila kita menyamakan posisi, katakanlah, antara China dan Timor Timur atau antara Amerika dan Yunani atau antara Rusia dan Kenya. Artinya, secara de facto, negara-negara di dunia diklasifikasi berdasarkan kelasnya, terutama di bidang ekonomi, militer dan lokasi regionalnya.
Ketiga, guna menyiasati paradoks kelembagaan tersebut, muncul ide membuat sub-lembaga Dewan Kemanan (DK) PBB, yang awalnya hanya beranggotakan 5 anggota permanen (Amerika, Rusia China, Inggris dan Perancis).
Namun paradoks kelembagaan itu belum dan mungkin tidak akan terpecahkan melalu DK yang terdiri dari 5 negara anggota tetap. Lalu muncul modifikasi keanggotaan DK dengan menambah 10 anggota non permanen secara bergilir. Namun 10 anggota non permanen DK tersebut lebih diposisikan sebagai penambah bobot legitimasi kebijakan (Resolusi) yang dikeluarkan DK.
Keempat, bagi Amerika Serikat yang menjadi lokasi markas besar PBB, SU PBB memang menjadi momentum untuk bertemu banyak kepala pemerintahan. Dan di sini bisa dilihat posisi sebuah negara di mata Amerika Serikat. Biasanya ada yang diterima melalui pertemuan bilateral langsung dengan Presiden Amerika, ada juga yang diterima secara berkelompok melalui jamuan makan.
Kelima, SU PBB lebih sebagai "pertemuan silaturahim" dan bahkan cenderung sebagai "arena basa-basi" antar pimpinan negara. Semua pidato yang disampaikan oleh kepala delegasi negara di SU PBB hampir sama atau mirip dengan sesi "Pandangan Umum" dalam rapat anggota di sebuah organisasi kemahasiswaan.
Artinya, SU PBB lebih sebagai forum yang hanya efektif jika dimanfaatkan oleh setiap negara untuk menyampaikan dan mempublikasikan pandangan dan kebijakan luar negerinya untuk kasus tertentu.
Kesimpulannya, kehadiran seorang kepala pemerintahan di SU PBB memang diperlukan jika suatu negara ingin menyampaikan, sekali lagi, sekedar menyampaikan pandangannya terhadap isu tertentu di tingkat nasional, regional dan global, yang diasumsikan memiliki pengaruh dan memerlukan perhatian global.
Untuk Indonesia, misalnya, yang pada tahun 2017 ini, kepala delegasinya dipimpin oleh Wapres Jusuf Kalla, biasanya akan menyampaikan isu Palestina, kerja sama global dalam memerangi terorisme. Dan pada SU PBB tahun 2017, mungkin salah satu isu yang layak diangkat adalah soal krisis kemanusiaan Rohingnya di Myanmar.
Syarifuddin Abdullah | 21 September 2017 / 01 Muharram 1439H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H