Saya baru tahu juga bahwa ternyata sudah lama para pakar psikologi kebingungan membedakan antara kata kalbu, hati, heart, mind, rasa, pikiran dan kesadaran.
Kebingungan itu ternyata muncul berbarengan dengan perbedaan pendekatan dua mazhab mainstream psikologi dalam menganalisa perilaku manusia.
Pertama, teori psikoanalisis yang dipelopori Freud, yang mengatakan bahwa perilaku manusia lebih dikendalikan oleh ketidaksadaran, atau insting, dan sebab itu, semua perilaku manusia cenderung dan nyaris sama dengan binatang.
Kedua, kebalikan dari psikoanalisis, yakni teori kognitifi analisis, yang mengatakan bawa perilaku manusia disetir oleh kesadaran.
Keduanya mengacu pada beberapa variabel yang memang abstrak, dan karena itu, tidak pernah tuntas didefenisikan: apa itu pikiran? Apa itu kesadaran? Dan apa itu hati? Dan saya tertarik pada kajian perbedaan hati dan pikiran.
Seperti diketahui, berdasarkan nas Quran dan Hadits, kata kalbu memang dijelaskan dalam berbagai varian makna.
Ada sebuah hadits yang mengatakan, "Dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, yang jika segumpal daging itu baik, maka baiklah seluruh perilaku manusia. Dan jika segumpal daging itu buruk, maka buruk pulalah perilaku manusia, yaitu hati". Kata "hati" di hadits ini lebih bermakna nyata, segumpal daging.
Dalam bahasa Arab modern, kata qalbu (hati) dimaknai jantung. Â Karena itu, sakit jantung disebut maradhul-qalbi ( ), yang kalau diterjemahkan berarti "sakit hati". Sementara dalam Bahasa Indonesia, "sakit hati" lebih berkonotasi sakit perasaan, yang bersifat abstrak. Bingung kan?
Namun di dalam Quran, setidaknya ada tiga ayat di mana kata qalbu (hati) lebih diartikan mind atau pikiran untuk memahami.
Pertama, QS Al-A'raf, ayat 179: "Bahwa mereka memiliki qalbu (hati) yang tidak digunakan untuk memahami".
Kedua, QS At-Taubah, ayat 87: "Bahwa Allah telah menutup qalbu (hati) mereka, maka mereka tidak bisa lagi memahami".