Banyak orang yang percaya bahwa seradikal bagaimanapun seseorang di bidang keagamaan, tetap saja ada kemungkinan dia berubah menjadi moderat. Itu benar dan ada sejumlah kasus yang membuktikannya.
Namun ada penjelasan lain yang juga mungkin perlu diwacanakan.
Ilustrasi: seorang Muslim yang terbiasa qunut subuh, lalu diminta tidak qunut subuh, pasti perasaannya gak enak. Dalam gambaran ekstremnya, dia malah mungkin akan mengulangi shalat subuhnya, dengan asumsi shalat subuh tanpa qunut adalah tidak sah. Begitu pula sebaliknya: kalau sudah terbiasa shalat fajar tanpa qunut, lalu diminta untuk qunut, perasaannya pasti kurang nyaman juga.
Jika dalam soal qunut saja, yang notabene hukumnya sunnat, seorang Muslim bisa merasa kurang atau tidak nyaman, dan susah untuk mengubah kebiasaannya itu, maka dapat dibayangkan betapa sulitnya melakukan deradikalisasi, yang notabebe bersinggungan dengan masalah ideologis, dengan dalil-dalil yang kadang hitam-putih: wajib dan haram.
Kalau ilustrasi itu dinaikkan levelnya, dalam kasus Indonesia, sangat jarang terjadi seorang warga Muhammadiyah berpindah aliran menjadi warga NU. Seperti langkanya warga NU yang bergeser keyakinan menjadi warga Muhammadiyah.
Mengacu pada fakta-fakta sosial keagamaan seperti dilustrasikan di atas, banyak orang yang kemudian meragukan atau paling tidak mempertanyakan efektivitas program deradikalisasi.
Secara umum dan singkat, deradikalisasi bermakna membuat orang radikal menjadi tidak radikal atau mengubah paham radikal menjadi paham moderat. Dan itu tidak gampang, dan akan tambah keliru bila coba digampang-gampangkan.
Dalam beberapa artikel sebelumnya, saya menulis jangan dikira menjadi radikal itu gampang! Sulit itu, Bung. Sebab mereka yang kita anggap radikal telah melewati proses indoktrinasi atau radikalisasi yang intens, mungkin berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Mereka telah dicekoki dalil-dalil dan kisah-kisah yang memperkuat paham radikalnya.
Nah, ketika kita mendatangi dan coba menggiring mereka agar meningggalkan paham radikal dan beralih menjadi moderat, maka kemungkinan yang paling mungkin terjadi adalah para pegiat deradikalisasi akan ditertawakan. Khususnya jika pelaku deradikalisasi tidak memiliki kapasitas keilmuan yang memadai. Sebab suka tidak suka, dalam program deradikalisasi, adu argumentasi menjadi tak terelakkan. Dan setiap perdebatan selalu ada kemungkinan kedua pihak malah semakin bersikeras dengan pandangannya masing-masing.
Mungkin karena itulah, dalam agenda War on Terror, Amerika dan negara-negara Eropa serta beberapa negara di Timur Tengah dan Asia Tenggara memang tidak mengenal dan bahkan tidak setuju dengan program deradikaliasasi. Mereka lebih fokus pada agenda disengagement, counter violent, counter extremism, atau counter narrative. Agenda-agenda ini kadang dilakukan tanpa tebang pilih. Sapu rata, sapu jagat.
Majalah The Economist, edisi 24 Agustus 2017, menurunkan laporan utama dengan judul sampul "The Puzzle of Political Islam" yang antara lain menyimpulkan bahwa
"... the blanket repression of all Islamists is the worst possible response. In the end, it will lead only to more resentment, more turmoil and more terrorism(bahwa melakukan represi dengan cara membabi buta terhadap semua kelompok Islamis (baca jihadis) adalah alternatif respon paling buruk. Pada akhirnya, hanya akan menciptakan lebih banyak dendam, lebih banyak kekacauan dan lebih banyak teror".
Karena itu, menurut The Economist, "Rather than trying to crush them all, which would only unite and radicalise them, the aim should be to work with moderates, demand that the obnoxious reform, and fight the most dangerous. In this way Islamists might serve as a roadblock to jihadism... (daripada berupaya untuk menghancurkan semua kelompok Islam radikal, yang justru akan semakin mempersatukan mereka dan membuat mereka semakin radikal, akan lebih baik jika membuka jalur kerjasama dengan kelompok Islam moderat, guna membantu kelompok yang menjengkelkan agar mau melakukan perubahan paham, dan sekaligus memerangi kelompok yang paling berbahaya. Dengan cara ini, Islamis moderat bisa menjadi penghadang kelompok jihadis....".
Pertanyaaannya, lantas bagaimana melakukan deradikalisasi yang diharapkan bisa efektif?
Yang pertama dan utama: semua argumen radikalisme harus dilawan secara head-to-head dengan argumen pembanding, untuk menciptakan perimbangan argumentasi dan memberikan perspektif lain atau tafsiran lain terhadap satu dalil. Tujuannya agar kelompok atau orang radikal menyadari bahwa bukan hanya tafsiran mereka yang benar, atau memberikan pemahaman bahwa ada tafsiran lain terhadap dalil-dalil yang mereka yakini.
Karena itu, sekali lagi, menjadi pelaku deradikalisasi juga sulit. Karena memerlukan pemahaman yang juga detail terhadap berbagai argumen radikalisme. Jika tidak, yah itu tadi, akan ditertawakan.
Bila perlu, para pelaku deradikalisasi mestinya dibuatkan dan mengikuti pelatihan khsusus tentang cara melakukan deradikalisasi. Tanpa itu, deradikalisasi akan menghadapi resistensi yang semakin kuat. Dan itulah yang terjadi selama ini.
Sekedar contoh: pernyataan bahwa "jihad tempur sudah bukan jamannya lagi", tentu berbeda jauh dengan pernyataan bahwa "jihad tempur hanya bisa dilakukan dengan syarat-syarat tertentu". Sentuhannya beda banget. Sebab pernyataan pertama terkesan konfrontatif, sementara pernyataan kedua terkesan memberikan perspektif lain tentang jihad tempur.
Yang kedua dan juga utama: paparan atau publikasi yang bersifat counter narrative (narasi pembanding). Misalnya, semua narasi tentang IS (Islamic State), yang diyakini atau dianggap sukses menggoda banyak peminat, harus dilawan dengan narasi yang membuat orang menjauhi ISIS. Repotnya, selama ini, saya belum pernah membaca kajian yang menginventarisasi narasi-narasi IS yang diasumsikan banyak menggoda peminat.
Sekedar contoh: selama ini banyak orang yang berangkat ke Suriah karena kepincut provokasi bahwa IS akan mengganti biaya perjalanan ke Suriah dan mudah mencari pekerjaan dengan gaji tinggi. Dengan begitu, counter narrative-nya adalah mencari dan mempublikasikan fakta tentang tidak adanya penggantian biaya perjalanan bagi yang datang ke Suriah, dan pekerjaan bergaji tinggi hanyalah propaganda.
Kedua cara deradikalisai di atas, selain sulit dan belum tentu efektif, juga memerlukan stamina dan kesabaran di atas rata-rata. Dan mengharapkan hasil instan dari sebuah program deradikalisasi justru membuktikan kesalahpahaman tentang hakikat program dan proses deradikalisasi.
Program deradikalisasi itu memang tidak gampang, dan semakin digampang-gampangkan, akan semakin tidak efektif. Percaya deh!!!!
Syarifuddin Abdullah | 31 Agustus 2017 / 09 Dzul-hijjah 1438H.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H