Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kepada HTI, Selamat Jalan atau Selamat Tinggal?

19 Juli 2017   12:52 Diperbarui: 19 Juli 2017   15:10 1980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dan akhirnya, yang dinanti-nanti oleh sebagian orang terjadi juga. Kemenkumham RI mencabut status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang berlaku sejak 19 Juli 2017. Secara bahasa, pencabutan badan hukum adalah istilah lain dari kata pembubaran.

Jika keputusan telah dititahkan, takkan ada lagi dan memang tak perlu lagi perdebatan tentang teknis dan mekanismenya. Perdebatan akan fokus pada konsekuensinya, yang memang sejak awal dikhawatirkan banyak pihak.

Namun, saya sempat bingung juga. Ingin mengucapkan "selamat tinggal'-kah atau "selamat jalan"kah untuk HTI.

Jika mengucapakan "selamat tinggal", maka asumsinya HTI akan ditinggalkan pada posisinya sesaat sebelum keputusan Kemenkumham dititahkan. Namun bila mengucapkan "selamat jalan", maka asumsinya HTI dilepas pergi, entah kemana pun perginya.

Namun ada sejumlah catatan menarik terkait pencabutan badan hukum (pembubaran) HTI:

Pertama, setahu saya, HTI merupakan salah satu atau mungkin satu-satunya Ormas Islam yang beroperasi di Indonesia, yang selalu serba tanggung dalam memposisikan dirinya. Cenderung selalu bermain di dua kaki. Misalnya, resmi berbadan hukum Indonesia, tapi seluruh kebijakan dakwahnya berinduk kepada pimpinannya di luar negeri. Menyebut organisasinya sebagai partai (kata Hizb = partai), tapi tak mengikuti prosedur kepartaian. Atau kalau mau menambahkan, anti terhadap demokrasi, tapi menuntut perlakuan demokratis.

Kedua, dengan segala hormat kepada semua karakter dan model pergerakan HTI, misalnya kebijakan anti kekerasan dan komitmen menggelar aksi yang selalu damai, yang bahkan diakui oleh aparat keamanan, namun dua karakter utama aksi HTI ini menjadi dikesampingkan karena faktor (catatan pertama di atas): bermain di dua kaki.

Ketiga, saya mungkin keliru, tapi mengacu pada pemahaman dan bacaan saya tentang hampir semua gerakan-gerakan Islam nasional maupun global, yang mengusung kekhalifaan, HTI merupakan gerakan Islam pengusung kekhalifaan yang paling tidak realistis. Itulah sebabnya HTI sangat kerepotan berkomunikasi dengan gerakan-gerakan Islam lainnya, yang juga mengusung ideologi atau sistem kekhalifaan. Saya tiba pada kesimpulan keras dan kasar seperti ini, setelah saya membaca semua "buku induk" terbitan HTI.

Keempat, sebagai konsekuensi dari catatan ketiga (sulit berkomunikasi dengan gerakan serupa), akhirnya HTI bukan hanya eksklusif di mata publik, tetapi juga menjadi sangat ekslusif bahkan di kalangan sesama gerakan Islam pengusung ideologi dan sistem kekhalifaan.

Kelima, pencabutan badan hukum HTI, dengan segala plus-minusnya, jangan juga diposisikan melebihi muatan dan kapasitasnya. Setahu saya, di negara manapun, HTI tidak pernah menjadi gerakan mainstream yang sangat diperhitungkan. Artinya gerakan-gerakan Islam lainnya, dalam perkiraan saya, tidak akan merasa "sangat kehilangan" akibat pembubaran HTI. Saya malah khawatir ada gerakan Islam pengusung sistem kekhalifaan yang mungkin akan bertepuk tangan menyambut pembubaran HTI.

Keenam, pencabutan badan hukum HTI, meski ada potensinya, tetapi jangan juga misalnya disamakan dengan keputusan pembubaran PKI di zaman Orde Baru, yang disusul dengan tindakan pemberangusan aktivis dan bahkan simpatisan PKI.

Ketujuh, pemerintah negara manapun pun memiliki otoritas untuk menilai dan memutuskan Ormas mana yang perlu diajak bekerja sama, dan Ormas mana pula yang dianggap mengganggu atau berpotensi mengganggu. Dan secara filosofi kekuasaan, otoritas seperti ini normal-normal saja. Saya bahkan berani mengasumsikan bahwa jika HTI ditakdirkan menjadi penguasa, maka HTI juga akan melakukan kebijakan serupa: mencabut badan hukum dan membubarkan semua Ormas dan organisasi yang dianggap keluar dari jalur garis kebijakan HTI.

Kedelapan, bagi pegiat dan jajaran aktivis atau simpatisan HTI, meski sangat menyakitkan, tapi pencabutan badan hukum HTI di Indonesia bukanlah kasus pertama, dan boleh jadi bukan yang terakhir. Sebab sejumlah kasus pembubaran HTI yang sudah terjadi di beberapa negara mestinya dijadikan materi pembelajaran bagi setiap Ormas untuk bermain lebih cantik. Sebab salah satu kunci utama setiap gerakan adalah ikhtiyar dan pilihan model perjuangan saja.

"Selama jalan HTI", eh "selamat tinggal HTI".

Syarifuddin Abdullah | 19 Juli 2017 / 25 Syawal 1438H.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun