Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Setya Novanto Jadi Tersangka? Lumrah, Katanya

18 Juli 2017   14:14 Diperbarui: 18 Juli 2017   16:50 1552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto ilustrasi: www.senayanpost.com.

Berulang-ulang saya membaca berbagai keterangan profil Setya Novanto (SN) di berbagai situs. Dan saya tidak menemukan, mendengar atau membaca pernyataan SN terkait soal kenegaraan ataupun sosial politik, yang layak kutip atau diasumsikan bisa membuat pembaca atau pendengarnya merasa nggereges. Semua pernyataannya terkait persoalan-persoalan kenegaraan dan kebangsaan terkesan datar-datar saja, bahkan cenderung klise.

Tapi kalau membaca kronologi sepak terjang politiknya, tidak ada pilihan kecuali harus angkat topi. Sebab tidak gampang menjadi anggota DPR berturut-turut selama 6 periode tanpa putus sejak 1999 sampai 2017, yakni sejak masa Reformasi.

Meski bertahun-tahun menjadi anggota DPR, dan pernah menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar (2009), SN baru mencapai puncak karir kedewanan setelah terpilih menjadi Ketua DPR RI Periode 2014-2019 dalam sistem paket bersama Koalisi Merah Putih. Namun posisi puncak kedewanan itu hanya diduduki sekitar 14 bulan (mulai 02 Oktober 2014, dan mengundurkan diri pada 16 Desember 2015), tepat pada hari ketika Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) memutuskan SN bersalah dalam kasus yang populer dengan sebutan kasus "Papa Minta Saham" terkait PT Freeport.

Tapi mungkin banyak orang tidak mencermati bahwa ketika SN mundur dari jabatan Ketua DPR, posisinya sebagai anggota DPR tetap dipertahankan. Dan kasus MKD ini membuat publik kembali mengakui daya resisten dan kelenturan politik SN, karena namanya jelas-jelas disebut dalam kasus tersebut, dan meski ditetapkan bersalah oleh MKD, tapi tidak ada tindak lanjut ke meja pengadilan.

Setelah mengundurkan diri dari Ketua DPR, dan pada saat yang sama tetap sebagai anggota DPR dari Fraksi Golkar, SN bergerak melingkar dengan mencalonkan diri sebagai Ketum Golkar, dan terpilih sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar pada 17 Mei 2016 untuk periode kepengurusan 2016-2019. Dan tampaknya, dengan modal Ketum itulah, SN kembali masuk DPR dan lagi-lagi menjadi Ketua DPR.

Ketika sedang menjabat Ketua DPR untuk kedua kalinya inilah (disebut dua kali karena periodenya disela oleh pengunduran diri), nama SN kembali disebut-sebut terlibat dan bahkan diduga menerima Rp300.000.000.000 (tiga ratus miliar rupiah) dalam kasus proyek e-KTP yang bernilai senilai Rp5,9 triliun. Nazaruddin menuding Novanto membagi-bagi fee proyek e-KTP ke sejumlah anggota DPR. Meski berulang-ulang membatantahnya, pada 17 Juli 2017, KPK akhirnya menetapkan SN sebagai tersangka kasus e-KTP.

Jika melihat kronologi perjalanan karir politik SN, ada beberapa catatan yang cukup menarik:

Pertama, keanggotaannya di DPR yang berlangsung selama 6 periode atau selama periode reformasi, dan tanpa putus menunjukkan bahwa SN memiliki pengaruh kuat di Golkar, yang dengan sendirinya memiliki posisi tawar ketika berhadapan dengan Parpol-parpol lainnya.

Kedua, seiring dengan menjadi anggota DPR tanpa putus selama 6 periode, nama SN juga tidak putus-putusnya disebut terlibat dalam berbagai kasus. Artinya kasusnya juga nyaris tanpa jeda.

Ketiga, saya mencermati, dari sekian jabatan yang pernah diduduki di berbagai organisasi (politik, kepemudaan, sosial, profesi), SN lebih sering dipercaya sebagai bendahara. Ini juga menarik, karena untuk menjadi bendaraha umum di Parpol sekelas Golkar menunjukkan bahwa SN memiliki kemampuan dan dianggap sudah biasa mengelola dana dalam jumlah jumbo.

Keempat, setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 17 Juli 2017 dalam kasus e-KTP, tampaknya SN tidak memiliki alibi yang cukup kuat untuk mengelak dari sangkaan kasus E-KTP. Mungkin karena faktor jumlah dana yang disangkakan sangat jumbo: Rp300 miliar, meski dana itu konon dibagi-bagi lagi ke anggota DPR lainnya. Dan biasanya, jarang-jarang tuh tersangka KPK yang bisa lolos.

Mengacu pada rekam dan sepak terjang SN di dunia politik, berkali-kali namanya disebut dalam berbagai kasus, maka ketika akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, terdengarnya seperti kasus lumrah saja. Tidak punya daya hentak yang membuat publik sampai berkomentar: lho kok, bisa?

Syarifuddin Abdullah | 18 Juli 2017 /24 Syawal 1438H.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun