Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Memblokir Telegram?

17 Juli 2017   10:36 Diperbarui: 17 Juli 2017   12:55 5088
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: akun telegram Pavel Durov, pendiri dan CEO aplikasi Telegram.

Saya termasuk gaptek soal teknis dan mekanisme blokir-memblokir terbatas sebuah aplikasi media sosial. Dan catatan ini pun mohon dipahami sebagai catatan seorang yang gaptek.

Dan saya termasuk pengguna aplikasi Telegram. Sebab dibanding aplikasi lainnya, misalnya Whatsappatau Line, jelas Telegram memiliki feature yang jauh lebih unggul. Bahkan menurut sebuah laporan, end-to-end encryption, yang belakangan juga dipakai oleh Whatsapp, ternyata Telegram sudah lama menggunakannya. Artinya Whatsapp mencontek Telegram dalam hal konsep dan penerapan end-to-end encryption.

Sejauh yang saya tahu, di Telegram terdapat tiga feature yang sangat menarik, yang tidak dimiliki oleh aplikasi Medsos lainnya.

Pertama, secret chatting, di mana penggunanya dapat mengatur sebuah percakapan rahasia dengan membatasi durasi penampakan teks di gadget teman chatting. Artinya sebuah message hanya bertahan di layar gadget beberapa detik setelah dibaca. Jika di-setting 5 detik, maka teks itu akan terhapus/hancur dengan sendirinya (self-destruction) di layar gadget pengirim dan penerima 5 detik, setelah message itu dibaca.

Karena itu, dengan self-destruction tersebut, Telegram konon menjadi aplikasi pavorit di kalangan jaringan pelaku korupsi untuk melakukan pengaburan transaksi agar tidak bisa di-tracking, atau seseorang yang sedang selingkuh, atau bahkan di kalangan para pedagang Narkoba. Dan tentu saja jaringan teroris.

Kedua, proses penghapusan message yang dikirim dengan dua alternatif: dihapus di gadget pengirim saja, atau dihapus di gadget pengirim dan penerima. Feature ini juga tak ada di Whatsapp, Line ataupun lainnya. Sebab postingan yang telah dikirim di Whatsapp, tak bisa lagi dihapus oleh pengirim di gadget penerima.

Ketiga, kalau saya menerima sebuah message, lalu melakukan screen-shot terhadap message itu, maka tindakan screen-shot itu akan diketahui oleh pengirim message. Lagi-lagi, feature ini tak dimiliki Whatsapp atau Line.

Karena itu, saya termasuk kaget ketika tiba-tiba melalui beberapa postingan group membaca bahwa Kemenkominfo RI berencana memblokir Telegram, dengan alasan (minimal yang muncul ke permukaan) bahwa Telegram menjadi salah satu aplikasi pavorit yang digunakan oleh kelompok teroris, baik untuk berkomunikasi antar sesama mereka, ataupun untuk melakukan provokasi. Jika semata alasan ini, kita semua mungkin tak punya alasan menolaknya.

Tapi saya masih berpikir positif: menilai berita tentang rencana Kemenkominfo memblokir Telegram lebih sebagai test the water, untuk mengetahui respon para pengelola Telegram, asal Rusia tersebut.

Dan alhamdulilah, Telegram akhirnya merespon. Tentu antara lain karena jumlah pengguna Telegram di Indoensia sudah besar dan terus meningkat. Seperti diketahui, awalnya beredar postingan pendiri dan CEO Telegram Pavel Durov di akun Twitter-nya, yang mengatakan merasa strange (aneh) dengan rencana Kemenkominfo RI untuk memblokir Telegram, dan berargumen bahwa sebelumnya tidak ada pemberitahuan kepada pengelola Telegram.

Tapi sepertinya, itu hanya sikap ngeles saja. Memang para pengelola Medsos mainstream kadang bersikap jumawa, misalnya dengan kadang pura-pura tidak tahu. Tapi setiap negara memiliki posisi tawar yang relatif kuat dalam berhadapan dengan semua pengelola komunikasi. Apalagi Indonesia yang memiliki jumlah populasi yang sangat besar, 255 juta jiwa.

Tidak aneh, pada 16 Juli 2017, melalui Durov's channel di Telegram, Pavel Durov akhirnya mengakui baru mengetahui bahwa Telegram memang telah melakukan kesalahan, karena tidak merespon beberapa kali permintaan Kemenkominfo RI untuk memblokir atau menutup sejumlah chanel atau group chatting yang dikelola oleh kelompok teroris, yang menurut Kemenkominfo, berjumlah sekitar 17 ribu halaman di Telegram.

Sebagai bagian dari komunitas pengguna Telegram di Indonesia tentu berharap komunikasi antara pihak Telegram dan Kemenkominfo berjalan baik dan efektif. Sekaligus berharap agar komunikasi itu berujung win-win solution. Dengan begitu, Kemenkominfo tidak harus mengambil kebijakan dan melakukan tidakan membakar lumbung padi semata karena beberapa ekor tikus. Bravo Menkominfo dan Telegram.

Syarifuddin Abdullah | 17 Juli 2017 /23 Syawal 1438H.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun