Zaman tentang kedalaman wacana telah berlalu dan jika pun ada, semakin langka. Semua bersifat instan.
Pembaca buku sudah semakin langka. Semua lebih "dikendalikan" oleh postingan-postingan ringkas, yang asal nyahut dan sering tidak padat, tak jarang hoax di Medsos.
Di rumah, di tempat kerja, di jalan, di stasion-terminal-Bandara, bahkan saat E'E' di toilet, waktu baca tergerus oleh kegiatan memelototi layar group chatting, artikel atau meme provokatif, bahkan hoax.
Semua orang diperhadapkan pada dua pilihan: (1) membaca dengan kedalaman wacana melalui jurnal dan buku, atau (2) memilih sibuk dengan postingan Medsos agar tak ketinggalan wacana.
Dan hasilnya jelas nyata: menangkan waktu, kalahkan mutu.
Ungkapan ini (menangkan waktu, kalahkan mutu), sejak dulu dan kayaknya sampai hari-hari ini, populer di kalangan para peserta Pendidikan dan Latihan (Diklat) di jajaran aparatus negara (PNS, TNI, Polri), yang ketika mengikuti penugasan Diklat, biasanya sibuk mengerjakan tugas-tugas harian, sementara periode waktu Diklat sangat terbatas. Maka daripada tidak sempat mengerjakan tugas harian, peserta Diklat umumnya akan menempuh jalur pintas: menggunakan jasa joki, atau main Copas sana-sini. Karena semua dipaksa untuk menangkan waktu, kalahkan mutu. Maka, jangan terlalu berharap mutu dari sebuah Diklat.
Dan sialnya, di tengah arus yang serba ringkas dan gak mutu itu, kita semua sering terbawa arus trending topic. Kasus paling anyar adalah wacana tentang Ndeso.
Saat semua tampak terbawa atau malah terseret oleh wacana Ndeso, kita jarang bahkan tidak menemukan pertanyaan, misalnya, apa pentingnya sih soal Ndeso. Apalagi wacana itu dipicu oleh figur Sang Putra Presiden (Kaesang Pangarep).
Sebab kalau mau jujur, hampir semua pejabat tinggi negara saat ini (yang kelahiran 1950-an sampai 1960-an bahkan 1970-an) adalah wong/neng ndeso kabeh. Lantas di mana letak keunggulan Ndeso-nya Kaesang?
Atau jika mau, kenapa kita tidak lebih serius berbincang tentang apakah misalnya Ndeso itu adalah persoalan mental atau perilaku (penampilan dalam artian lugu atau bersahaja), atau bawaan orok.
Saya haqqul-yakin, jika ndeso diwacanakan secara lebih serius, kita semua mungkin akan cenderung berkesimpulan bahwa wacana itu adalah bagian dari sebuah desain pencitraan.