Aroma dua tubuh itu tak lagi saling membedakan. Keduanya sudah saling menisbahkan diri. Masing-masing telah melepas ciri khasnya, lalu mencipta aroma kesehatian.
Seperti dua kata ganti (dhamir) yang merujuk kepada satu subyek. Dia-aku sudah menjadi dia. Aku-dia telah menjelma menjadi aku.
Puncak kesehatian yang menihilkan diri sendiri. Dua ritme napas terhembuskan melalui satu tarikan-hembusan napas. Jarak fisik tak lagi dihitung, tak pula berpengaruh.
Sayang seribu sayang, kesehatian itu terjadi di momen yang tidak tepat. Keduanya masing-masing terbelenggu oleh tali melilit kencang, nyaris mustahil dilepas apalagi melepaskannya.
Solusinya hanya satu, tak ada duanya: menikmati kekinian, sambil was-was akan masa selanjutnya. Berusaha menikmati momentum di tengah keterbelemgguan: berat dan melelahkan, namun tetap mengasyikkan.
Syarifuddin Abdullah | 03 Juli 2017 / 09 Syawwal 1438H.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H