Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mudik, Kembali ke Pangkuan Asal

17 Juni 2017   03:05 Diperbarui: 17 Juni 2017   03:28 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hirup-pikuk ritual sosial tahunan itu datang lagi. Dalam rentang waktu terbatas, jutaan orang berebut ruang di jalanan sepanjang beribu-ribu kilometer. Massif dan berskala nasional. Sebagian berkendara roda empat, lainnya memacu roda dua. Belum lagi yang naik kereta atau pesawat. Banyak juga yang menyeberang antar pulau. Semua orang sibuk dan tersibukkan karenanya.

Mereka menuju satu tujuan: kampung halaman. Ke pangkuan kelahiran, yang betapapun masih bersahajanya, tetap dikenang dan dirindukan. Sebagian bahkan terkesan rela mempertaruhkan segalanya demi dapat kembali ke pangkuan asal.

Padahal, saban hari, kita sesungguhnya melakukan ritual mudik. Mungkin tidak terasa karena seringnya dilakoni secara berulang-ulang: berangkat pagi dari tempat domisli ke tempat kerja, dan mudik ke rumah di sore atau malam hari.

Adanya tempat kembali atau tujuan mudik, karena itu, bisa juga disebut sebagai salah satu indikator kemapanan. Mereka mapan, dan sebab itu, memerlukan titik kembali. Punya tempat dan orang-orang yang berdiam di satu titik, yang selalu dikenang untuk dijadikan tempat kembali, dari satu waktu ke waktu. Penunjuk normalnya sebuah kehidupan.

Bahkan komunitas yang nomaden sekalipun tidak mungkin menjauh dari lingkungan kehidupan komunitasnya. Para nomaden memang terus bergerak, tak menetap di satu titik selama periode yang lama. Tetapi jelajah pergerakannya akan tetap dalam radius lingkungannya.

Dan kali ini, aku mudik dengan suasana yang lebih menyentuh, yang mengantarku ke sebuah momen, kepada seseorang, juga ke sebuah titik, di mana aku dulu pernah mengukir kenangan, dan kini kenangan itu nyata di hadapanku dan berada dalam jangkauanku.

Tetapi saban tahun, sebagian di antara kita tanpa sadar justru sedang melakukan mudik terakhir, perjalanan terakhir, perjamuan terakhir. Silaturahim terakhir. Terkait ini, Tuhan memperingatkan, "Awaslah pada hari (ketika kalian keluar dari tempat domisili, dan tidak kembali lagi), karena pada hari itu, kalian dikembalikan kepada Tuhan..." (lihat QS Al-Baqarah, ayat 281). Itulah perjalanan terakhir kita dalam kehidupan.

Syarifuddin Abdullah | Jakarta, Sabtu, 17 Juni 2017 / 22 Ramadhan 1438H.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun