Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kartini, Anak Selir yang Dihormati Banyak Orang

21 April 2017   15:43 Diperbarui: 22 April 2017   22:00 1112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yah, Kartini yang bergelar Raden Ajeng itu, adalah anak dari seorang ibu bernama Ngasirah, yang merupakan “salah satu” selir RM Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara yang hidup dan berkuasa di akhir abad ke-19 di Jepara, Jawa Tengah.

Mungkin saya keliru memahami, tapi beberapa tulisan Goenawan Mohamad (GM) di rubrik Catatan Pinggir-nya di Majalah Tempo, mengirim pesan yang nyaris konsisten: terkesan seolah menyindir figur Kartini dan pengagungan yang disematkan kepada ibu yang harum baunya itu.

“Kartini meninggal di tahun 1904. Umurnya baru 25. Ia meninggal sebagai seorang ibu. Di akhir hidupnya yang pendek, ia isteri kedua seorang bupati” (Catatan Pinggir GM: “Monginsidi, Chairil, Kartini”, 25 Desember 2006).

GM juga menyindir soal gelar Kartini: Raden Ajeng. “Apa arti ‘Raden Ajeng’ bagi seorang Belanda?... Apa arti gelar itu bagi seorang gadis Jawa yang tahu dirinya tak 100% berdarah ningrat?... Kepada Stella, Kartini mengatakan, ”Ibuku masih sangat terhubung dengan Kerajaan Madura.” Tapi Kartini tahu, dan Stella tidak, bahwa ‘Ibu’ di sini bukanlah ibunya sendiri, melainkan ibu tirinya, permaisuri Bupati Jepara. Status ibu kandung Kartini [adalah] seorang dari kelas bawah, hanyalah selir. (Catatan Pinggir GM: “Surat”, 23 April 2007).

Bahkan GM, seolah ingin mengingatkan pembaca bahwa Kartini yang diagung-agungkan itu, adalah seorang gagal. “…tapi yang bagi saya menyentuh dalam sosok Kartini justru dirinya yang terbelah: ia menjerit dan sebab itu didengar, ia korban dan sebab itu jadi lambang. Kita tahu akhirnya ia gagal: seorang penentang poligami yang mati muda sebagai seorang madu”. Tegasnya, Kartini adalah penentang poligami yang hidupnya berujung dengan menjadi istri ke sekian juga.

Dan dalam tradisi Jawa di akhir abad ke-19, seorang anak selir juga lebih cenderung sering diposisikan sebagai anak jadah. Anak yang lahir di luar nikah. Kartini adalah salah satunya.

Lantas apakah penghormatan kepada seseorang harus disyarati tentang asal-usul dan sejarah kelahirannya: anak sah (berdasarkan pernikahan) atau anak selir alias anak jadah yang lahir di luar nikah.

Jika syarat ini kita jadikan pra syarat penghormatan kepada seorang tokoh, saya khawatir akan banyak sekali penghormatan yang terlanjur disematkan kepada tokoh harus ditinjau ulang. Dan seandainya pun harus direvisi, mungkin tidak perlulah sampai harus mengubah judul lagu ciptaan W.R. Soepratmanyangberjudul “Ibu Kita Kartini”, yang harum baunya menjadi busuk baunya.

Apapun itu, tapi latar belakang pribadi seorang tokoh sejarah, memang harus dibedah dari dua sisi: positif dan negatifnya.

Syarifuddin Abdullah | Jumat, 21 April 2017 / 24 Rajab 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun