Di Amerika misalnya, 0,01% atau sekitar 16.000 keluarga memiliki rata-rata penghasilan sebesar 24 juta USD per tahun (lihat The Economist, 13 Oktober 2012).
Kedua, jika Anda orang miskin dan punya cita-cita masuk ke dalam kategori 1 persen penguasa kekayaan nasional, saya merekomendasikan begini: forget it! Nggak bakal nyampe, soalnya. Sebab yang namanya kekayaan, pertumbuhannya cenderung mengikuti pola deret ukur, bukan deret hitung. Dengan kata lain, jika baru mulai, Anda bisa saja kaya. Tetapi yang sudah kaya duluan, pertumbuhan kekayaannya lebih cepat. Jadi, forget it! Nggak bakal nyampe, soalnya.
Ketiga, saya belum pernah menemukan ulasan dari para pakar ekonomi kelas dunia sekalipun, yang menawarkan solusi efektif guna mengurangi jurang kaya-miskin, yang merupakan fenomena global tersebut. Para pakar memang menawarkan “Teori Gini”. Tapi berdasarkan pengamatan saya, Teori Gini lebih mengulas realitas, bukan menawarkan solusi tentang bagaimana mempersempit jurang kaya-miskin.
Keempat, kelompok penduduk Indonesia yang boleh disebut kelas menengah Indonesia (dari segi ekonomi) adalah mereka yang masuk kategori 14,7 persen (37.485.000 jiwa), yang kekayaannya antara 10.000 sampai 100.000 USD (Rp1.335.100.000). Ini relatif mudah mengidentifikasinya. Berdasarkan laporan kekayaan para pejabat negara (mulai dari eselon 2 sampai menteri atau sederajat) juga seluruh anggota DPR Pusat dan DPRD Provinsi dan Kabupatan/Kota, hampir semuanya masuk dalam kategori ini.
Kelima, sesekali mungkin sebaiknya masing-masing dari kita perlu mencermati – bila perlu dengan data kongkretnya – siapa saja warga Indonesia yang 1 persen (2.550.000 jiwa) itu, yang kekayaannya antara 100.000 sampai 1.000.000 USD (Rp 13.350.000.000). Sebab, boleh jadi Anda termasuk di dalamnya.
Kelima, distribusi kekayaan nasional yang menurut Tempo adalah “Ketimpangan yang sempurna” itu, bukan hasil kemarin sore. Jadi keliru juga bila tiba-tiba menyalahkan pemerintah saat ini. Itu adalah hasil proses bagi-bagi national pie (kue nasional) yang sudah berlangsung sejak negeri ini merdeka. Dan jangan terlalu berharap untuk menyelesaikannya dalam tempo singkat. Diperlukan sebuah kebijakan radikal. Wani?
Syarifuddin Abdullah | Ahad, 26 Maret 2017 / 28 Jumadil-akhir 1438H.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H